PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bahasa itu terdiri atas unsur-unsur yang tersusun secara
teratur. Bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara acak atau
tidak beraturan. Bahasa itu sistematis. Di samping itu, dapat pula dinyatakan
bahwa bahasa terdiri dari subsistem-subsistem, artinya bahasa bukanlah sistem
tunggal. Bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu subsistem fonologi,
subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal. Agak berbeda dengan subsistem
yang lain, subsistem bahasa tertata secara hirearkis. Jenjang subsistem ini
dalam linguistik dikenal dengan nama tataran linguistik atau tataran bahasa.
Jika diurutkan dari tataran yanng terendah sampai tataran yang tertinggi, dalam
hal ini yang menyangkut ketiga subsistem bahasa di atas adalah tataran fonem,
morfem, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Tataran fonem masuk dalam bidang
kajian fonologi, tataran morfem dan kata masuk dalam tataran kajian morfologi;
tataran frasa, klausa, kalimat, dan wacana merupakan tataran tertinggi, dikaji
oleh bidang sintaksis. Dalam morfologi, kata menjadi satuan terbesar, sedangkan
dalam sintaksis menjadi satuan terkecil. Dalam kajian morfologi, kata itu
dikaji struktur dan proses pembentukannya, sedangkan dalam sintaksis dikaji
sebagai unsur pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar.
Linguistik dari segi telaahnya dapat dibagi atas dua
jenis, yaitu linguistik mikro dan linguistik makro. Linguistik mikro dipahami
sebagai linguistik yang sifat telaahnya lebih sempit. Artinya, bersifat
internal, hanya melihat bahasa sebagai bahasa. Linguistik makro bersifat luas,
sifat telaahnya ekternal. Linguistik mengkaji kegiatan bahasa pada
bidang-bidang lain, misalnya ekonomi dan sejarah. Bahasa digunakan sebagai alat
untuk melihat bahasa dari sudut pandangan dari luar bahasa.
Bahasa dapat dilihat secara deskriptif, historis
komparatif, kontrastif, sinkronis, dan diakronis. Linguistik deskriptif melihat
bahasa yang masih hidup apa adanya. Linguistik komparatif membandingkan dua
bahasa atau lebih pada periode berbeda. Linguistik kontrastif membandingkan
bahasa-bahasa pada periode tertentu atau sezaman. Dalam kajian ini dicari
persamaan dan perbedaan dalam bidang struktur: fonologi, morfologi, sintaksis,
dan semantik. Linguistik sinkronis mempersoalkan bahasa pada massa tertentu.
Dalam kajian ini kita tidak membandingkan dengan bahasa lain dan periode lain.
Dengan demikian, kajian linguistik ini bersifat mendatar atau horizontal.
Linguistik dapat pula berhubungan dengan ilmu lain. Ilmu
tersebut antara lain adalah psikologi, sosiologi, dan antropologi. Ahli bahasa
dapat memanfaatkan psikologi untuk menganalisis perolehan bahasa dan akibat
gangguan psikologi. Perhubungan ini melahirkan psikolinguistik. Hubungan dengan
sosiologi melahirkan sosiolinguistik. Subdisiplin ini dikaji hubungan bahasa
dengan pembicara, bahasa apa atau variasi bahasa, apa yang dibicarakan, kepada
siapa, dan kapan terjadi pembicaraan. Dengan kata lain, sosiolinguistik
menganalisis hubungan antara aspek sosial dengan kegiatan berbahasa.
Pemanfaatan antropologi menghasilkan anropolinguistik atau etnolinguistik. Subdisiplin
ini mempelajari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa, dan kebudayaan pada
umumnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah
ini akan diuraikan apa yang disebut dengan linguistik makro dan linguistik
mikro secara umum beserta kajian ilmiahnya.
B.
Perumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
linguistik makro dan linguistik mikro?
2.
Bagaimana penerapan linguistik
makro dan miikro dalam kajian ilmiah?
C.
Kajian Teori
Sebelum
membicarakan pembidangan linguistik, lebih dulu dibicarakan pembagian ilmu
pengetahuan sehingga kita memperoleh gambaran dimana letaknya linguistik. Salah
satu pendapat mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan itu terbagi atas tiga bidang
besar; (1) Ilmu pengetahuan alam (natura
science), termasuk di dalamnya ilmu kimia, biologi, botani, geologi,
astronomi; (2) Ilmu pengetahuan sosial-budaya (social science), termasuk ilmu
pengetahuan kemanusiaan, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan budaya; (3) Ilmu
pengetahuan humaniora termasuk didalamnya logika, matematika, bahasa, dan seni
Dalam
pembagian seperti itu, linguistik termasuk salah satu ilmu pengetahuan sosial
budaya (inggris humanities, Jerman: Geisteswissenschaften). Perlu
dijelaskan bahwa ilmu kemanusiaan pada hakikatnya tidak dapat diterima karena
fenomena sosial tergantung sepenuhnya dari ciri-ciri manusia, sebaliknya ilmu
tentang manusia tidak harus bersifat sosial) Jean Piaget, ahli psikologi dan
pemikir ilmu pengetahuan swiss membagi ilmu pengetahuan sosial atas empat
cabang, yaitu; 1) ilmu-ilmu nomotetik; 2) ilmu-ilmu sejarah; 3) ilmu-ilmu
hukum; 4) ilmu-ilmu filsafat. Linguistik menurut pembagian ini termasuk ilmu-ilmu
nomotetik, yaitu ilmu yang berusaha mencari kaidah-kaidah mempergunakan metode
eksperimental dan berusaha untuk memusatkan perhatian pada bidang yang
terbatas. Termasuk pula sebagai ilmu nomotetik itu antara lain: psikologi,
sosiologi, ekonomi. Jean peaget mengatakan bahwa beberapa aspek bahasa dapat
ditinjau dari pendekatan historis dan adapula beberapa aspek bahasa yang dapat
didekati secara filosofis. Linguistik merupakan salah satu jenis dari ilmu
sosial dan kemanusiaan dan kedudukannya sebagai ilmu yang otonom tidak perlu
diragukan lagi karena linguistik menyelidiki bahasa sebagai data utama.
tambahan pula linguistik sudah mengembangkan seperangkat prosedur yang sudah
dianggap benar standar.
Pada
dasarnya, linguistik terdiri atas dua bidang besar, yaitu; (1) Mikrolinguistik,
yaitu bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalam dengan kata lain
mempelajari struktur bahasa itu sendiri; (2) Makrolinguistik, yaitu bidang
linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di
luar bahasa, termasuk di dalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan.
Ditinjau
dari sudut tujuan, linguistik dapat dibagi atas dua bidang, yaitu linguistic teoritis
dan terapan, yakni;
(1) Linguistik teoritis, yaitu bidang
linguistik yang mengkaji dan mengupas bahasa untuk mendapatkan kaidah-kaidah
yang berlaku dalam bahasa. Linguistik teoritis ada ada yang bersifat umum dan
ada yang bersifat khusus. Linguistik yang bersifat umum biasanya disebut
linguistik umum yang berusaha memahami ciri-ciri umum dari berbagai bahasa.
Linguistik teoritis yang khusus berusaha menyelidiki ciri-ciri khusus dalam
bahasa tertentu saja. Linguistik teoritis mencakup: linguistik deskriptif, linguistik
historis komparatif. Pembagian ini dirinci satu persatu sebagi berikut: a) linguistik
teoritis adalah cabang llinguistik yang memusatkan perhatian pada teori umum
dan metode-metode umum dalam penyelidikan bahasa; b) linguistik deskriptif
disebut juga linguistik sinkronis adalah bidang linguistik yang menyelidiki
sistem bahasa pada waktu tertentu saja. Misalnya: bahasa Indonesia dewasa ini,
bahasa Inggris yang dipakai oleh shakepeare, dan sebagainya tanpa memperhatikan
perkembangannya dari waktu ke waktu. Cabang ini terbagi atas fonologi deskriptif, morfologi deskriptif,
sintaksis deskriptif, leksikologi
deskriptif.
Fonologi
meneliti tentang ciri-ciri bunyi dan fungsi bunyi. Morfologi menyelidiki tentang
kata, unsur, dan proses pembentukannya, sintaksis menyelidiki satuan antara
satuan-satuan itu. Morfologi dan sintaksis termasuk dalam tataran tata bahasa
atau gramatika. Leksikologi menyangkut perbendaharaan kata atau leksikon; c) linguistik
historis komparatif (diakronis) adalah linguistik yang mempelajari dan menyelidiki
perkembangan bahasa dari satu masa ke masa lain, serta menyelidiki perbandingan
satu bahsa dengan bahasa lain untuk menemukan bahasa purba atau bahasa proto
sebagai bahasa induk bersama. LHK terbagi pula atas bidang (1) fonologi), (2)
morfologi, (3) sintaksis, (4) leksikologi historis komparatif. Dinyatakan pula
bahwa bahasa mempunyai aspek makna atau aspek semantis. Penyelidikan tentang
aspek ini baik yang bersifat teoritis umum maupun yang bersifat deskriptif dan
bersifat historis komparatif, disebut semantik. Bidang ini sering disebut
semantik linguistik, untuk membedakannya dengan semantik filosofis, yakni cabang ilmu filsafat yang
juga menyelidiki makna.
(2) Linguistik
Terapan (appllied linguistics)
mencakup bidang: pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikologi, fonetik terapan,
sosiolinguistik terapan, pembinaan bahasa internasional, pembinaan bahasa
khusus, linguistik medis, mekanolinguistik. Penjelasanya sebagi berikut:
a. pengajaran bahasa mencakup metode-metode pengajaran
bahasa, ucapan bunyi-bunyi dengan pelajaran bahasa, strategi, model, dan
cara-cara pengajaran bahasa.
b. Penerjemahan, mencakup metode dan tehnik pengalihan
amanat dari satu bahasa ke bahasa lain.
c. Leksikografi, mencakup metode dan tehnik penyusunan
kamus.
d. Fonetik terapan, mencakup metode dan tehnik pengucapan
bunyi-bunyi dengan tepat, misalnya untuk melatih orang yang gagap, untuk
melatih pemain drama, dan sebagainya.
e. Sosiolinguistik terapan, mencakup pemanfaatan wawasan
sosiolinguistik untuk keperluan praktis, seperti perencanaan bahasa, pembinaan
bahasa, pemberantasan buta aksara, dan sebagainya.
f. Pembinaan bahasa Internasional, mencakup usaha untuk
menciptakan komunikasi dan saling pengertian internasional dengan menyusun
bahasa buatan seperti bahasa esperanto.
g. Pembinaan bahasa khusus, mencakup penyusunan istilah
dan daya bahasa dalam bidang-bidang khusus, antara lain dalam militer, dalam
dunia penerbangan, dalam dunia pelayaran.
h. Linguistik medis, membantu bidang patologi dalam hal
penyembuhan cacat bahasa.
i. Grafologi, kajian linguistik tentang tulisan-tulisan.
j. Mekanolinguistik, mencakup penggunaan linguistik dalam
bidang komputer dan usaha untuk membuat mesin penerjemah, usaha pemanfaatan
komputer dalam penyelidikan bahasa, misalnya dalam penyusunan konkordansi
teks-teks, dalam perhitungan frekwensi kata-kata untuk perkamusan dan pengajran
bahasa. Bidang ini disebut juga linguistik komputasi.
Kajian
linguistik terapan merupakan salah satu bagian dari kajian linguistik interdisipliner.
Kajian interdisipliner yang antara lain psikolinguistik, sosiolinguistik, etnolinguistik.
Secara singkat penjelasannya sebagai berikut: (1) Filsafat bahasa adalah kajian
yang mengupas kodrat dan kedudukan bahasa manusia dalam hubungannya dengan
filsafat dan peranan melahirkan pemikiran filsafat; (2) Psikolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan perilaku serta akal budi
manusia atau ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi; (3) Etnolinguistik
adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyrakat
pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan. Bidang ini disebut juga
linguistik antropologi.
Berdasarkan
hubungan dengan faktor di luar bahasa objek kajiannya dibedakan adanya
linguistik mikro dan linguistik makro Linguistik mikro mengarahkan kajian pada
struktur internal atau struktur bahasa tertentu atau subsistem bahasa tertentu,
maka dalam linguistik mikro terdapat pembidangan fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan leksikologi. Ada juga yang menggabungkan morfologi
dengan sintaksis menjadi morfosintaksis, dan menggabungkan morfologi dengan
semantik dan leksikologi menjadi leksikosemantik. Namun, dalam makalah ini akan
membahas mengenai fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan sejarah
aliran linguistik. Kemudian, dalam kajian mikrolinguistiknya, yaitu
sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, pragmatik, dan neurolinguistik.
1)
Fonologi
Fonologi menyelidiki
ciri-ciri bunyi ujar, cara terjadinya dan fungsinya dalam sistem kebahasaan
secara keseluruhan. Fonologi dapat dipelajari dengan dua sudut pandang.
Pertama, bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata tak ubahnya seperti
benda atau zat. Dengan demikian, bunyi dianggap sebagai bahan mentah , bagai
bahan mentah, bagaikan batu, semen sebagai bagian dari bahan mentah bangunan
rumah. Fonologi yang memandang bunyi ujar demikian lazim disebut fonetik. Kedua,
bunyi ujar dipandang sebagai sistem bahasa. Bunyi ujar merupakan bagian dari
struktur kata dan sekaligus berfungsi untuk membedakan makna. Fonologi yang
memandang bunyi ujar itu sebagai bagian dari sistem bahasa, lazim disebut
fonemik (Muslich, 2008: 1-2).
2)
Morfologi
Morfologi ialah
bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk-beluk
bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan
dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi
mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk
kata iti, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik (Ramlan, 2009: 21).
Morfologi disebut
juga ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata. Verhaar (1984:52)
berpendapat bahwa morfologi adalah bidang linguistik yang mempelajari susunan
bagian kata secara gramatikal. Begitu pula Kridalaksana (1984:129) yang
mengemukakan bahwa morfologi, yaitu (1) bidang linguistik yang mempelajari
morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang
mencakup kata dan bagian-bagian kata, yaitu morfem.
Berdasarkan
definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari hubungan antara morfem yang satu dengan morfem yang
lain untuk membentuk sebuah kata. Morfem adalah bentuk bahasa yang terkecil
yang tidak dapat lagi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, misalnya,
kata putus jika dibagi menjadi pu dan tus, bagian-bagian
itu tidak dapat lagi disebut morfem karena tidak mempunyai makna, baik makna
leksikal ataupun makna gramatikal. Demikian juga me- dan -kan tidak
dapat kita bagi menjadi bagian yang lebih kecil (Badudu,1985:66). Jadi, morfem
adalah satuan bahasa yang paling kecil yang tidak dapat dibagi lagi dan
mempunyai makna gramatikal dan makna leksikal.
3)
Sintaksis
Sintaksis adalah cabang ilmu linguistik
yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur
lain sebagai suatu satuan ujaran, dalam sintaksis yang biasa dibicarakan adalah
struktur sintaksis, mencakup masalah fungsi, kategori, peran sintaksis, satuan
sintaksis berupa frase, kalimat, kalimat, dan wacana (Chaer, 2007: 206).
4)
Semantik
Verhaar (dalam Pateda, 2001: 7) mengatakan bahwa
semantik adalah teori makna atas teori arti (kata semantik sebagai nomina dan
semantik sebagai ajektiva). Memang secara empiris sebelum seseorang berbicara
dan ketika seseorang mendengar ujaran seseorang, terjadi proses mental pada
diri keduanya. Proses mental itu berupa menyusun kode semantik, kode gramatikal
dan kode fonologis pada pihak pembicara, dan proses memecahkan kode fonologis
pada pihak pendengar. Dengan kata lain, baik pada pihak pembicara maupun
pendengar terjadi pemaknaan. Soal makna menjadi urusan semantik. Berdasarkan
hal tersebut dapat sisimpulkan bahwa semantik adal subdisiplin ilmu linguistik
yang membicarakan makna.
5) Wacana
Dalam berbagai
kebutuhan informasi kita memerlukan wacana dalam mendapatkan informasi yang
kita butuhkan, dalam hal ini bisa dimuat dalam bentuk media cetak maupun
elektronik. Wacana merupakan kebutuhan manusia dalam memenuhi informasi, dalam
hal ini Chaer (2007: 267) mengemukakan
bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap terdapat konsep, gagasan,
pikiran, ide yang utuh dalam wacana lisan ataupun tulis, sehingga dalam
hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar,
berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi
persyaratan gramatikal dan persyaratan wacana.
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran
kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa
itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan
atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa
komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi
antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana
terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu
yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana
merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan
secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Oleh karena itu, manfaat
melakukan kegiatan analisis wacana adalah memahami hakikat bahasa, memahami
proses belajar bahasa dan perilaku berbahasa.
6)
Psikolinguistik
Menurut
Harley (dalam Soenjono : Psikolinguistik, 2003 :7) menyebut psikolinguistik
sebagai suatu “ studi tentang proses-proses mental dalam pemakaian bahasa.” Psikolinguistik
menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana
kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Dalam praktIknya psikolinguistik pada masalah-masalah seperti pengajaran dan
pembelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut,
kedwibahasaan, dan kemultibahsaan, penyakit bertutur seperti gagap, afasia,
serta masalah sosial lain yang menyangkut bahasa.
Aitchison (dalam Dardjowidojo,2003: 7) berpendapat bahwa
psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan minda. Sejalan dengan pendapat
di atas. Field (2003: 2) mengemukakan psycholinguistics explores the
relationship between the human mind and language ‘psikolinguistik membahas
hubungan antara otak manusia dengan bahasa’. Minda atau otak beroperasi ketika
terjadi pemakaian bahasa. Karena itu, Harley ( dalam Dardjowidjojo,2003: 7)
berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental
dalam pemakaian bahasa. Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa
terlebih dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini Levelt ( dalam
Marat,1983: 1) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai
penggunaan dan perolehan bahasa oleh manusia.
Kridalaksana (1982: 140) pun berpendapat sama dengan
menyatakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia serta kemampuan berbahasa
dapat diperoleh.
Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan
menghasilkan ujaran, berupa kalimat-kalimat. Karena itu, Emmon Bach
(Tarigan, 1985: 3) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang
meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai bahasa membentuk/
membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat di atas
Slobin (Chaer,2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan
proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana
kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6)
berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur
bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur,
dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses
memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (dalam
Musfiroh, 2002: 1) mengemukakan Psycholinguistics is the study of a mental
mechanisms that nake it possible for people to use language. It is a scientific
discipline whose goal is a coherent theory of the way in which language is
produce and understood ‘Psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme
mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat
memproduksi atau memahami ujaran’.
7)
Sosiolinguistik
Sosiolinguistik secara umum adalah bahasa yang
dipahami sebagai sistem tanda arbiter yang dipakai oleh manusia untuk tujuan
komunikasi antara satu sama lain. Dengan demikian, konteks sosial dalam
penggunaan bahasa menjadi sesuatu yang penting untuk dikaji.sosiolinguistik
bersifat interdispliner yang menggarap masalah kebahasaan dalam hubungannya
dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kulturalnya (wijaya dan Romadi
2006:7). Sementara Sumarsono (2011:1) mendefinisikan sosiolinguistik adalah
kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi masyarakat (di pelajari
oleh ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi). Kajian-kajian
sosiolinguistik bermanfaat untuk menyusun: (1) konsep dasar tentang guyub
tutur; (2) variasi dan perubahan bahasa (dialek dan kelompok sosial); (3)
kontak bahasa; (4) bahasa, kekuasaan, dan ketidaksetimbangan; (5) perencanaan,
kebijakan, dan praktek bahasa; (6) bahasa dan pendidikan; (7) metode penelitian
sosiolinguistik; (8) sosiolinguistik sebagai profesi (Hidayatullah,
http://kampusislam.com//).
8)
Pragmatik
Para pakar
pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Pragmatik adalah ilmu
yang mengkaji hubungan antara bahsa dan konteks, yang hubungannya berdifat
dasar, dalam rangka memahami komunikasi dengan bahasa (Subroto 2011:9).
Sedangkan menurut Cruse (dalam Louise 1999:2 ) pragmatik dianggap berurusan
dengan aspek-aspek informasi (dalam
pengertian yang paling luas) yang disamapaikan melalui bahasa yang (a) tidak dikodekkan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk languistik
yang digunakan, namun yang (b) juga muncul secara alamiah dari dan tergantung
pada makna-makna yang dikodekkan secara
konvensional dengan konteks tanpa
mengguakan bentuk-bentuk tersebut.
Yule
(dalam Subuki 2006:1), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu
(1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna
menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang
diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh
pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial
yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas
dalam Subuki (2006: 2) menyebut kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi
dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan
pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan
sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance
interpretation).
9)
Antropolinguistik
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan
kebudayaan secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan,
di pihak lain kebudayaan yang “menciptakan” manusia Linguistik Kebudayaan
memperlakukan bahasa sebagai fenomena yang kebermaknaannya hanya bisa dipahami
secara menyeluruh bila dikaitkan dengan budaya penuturnya. Linguistik
Kebudayaan berusaha mengungkap the meaning behind the use, mis-use or
non-use of language (dalam hal ini pengertiannya identik dengan Anthropological
Linguistics yang memandang bahasa melalui prisma konsep antropologi yang
paling inti yakni kebudayaan sebagaimana dikemukakan oleh Foley ,1997).
Sebagaimana yang dicatat oleh Ricoeur (1978:229),
keyakinan akan pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia dan sebagai peran
sosial di kalangan pemikir untuk menelaah dan mengungkapkan kebenaran dan
pemahaman tentang hakekat manusia dan dunia di sekitarnya telah ditunjukkan
oleh Plato dan Aristoteles. Kita telah terbiasa dengan pemikiran bahwa kata dan
kalimat mempunyai makna tetapi sebagian orang kurang akrab dengan notion bahwa
objek, produk dan aktifitas juga bermakna. Fenomena sosial seperti makan,
berpakaian, arsitektur, disain, dekorasi interior, sapaan, postur dan gerak
tubuh, periklanan dan sebagainya dapat dipahami melalui model bahasa dalam
artian bahwa semua fenomena tersebut bisa dilihat sebagai suatu sistem yang
dilandasi oleh suatu konvensi. Wacana kebudayaan adalah wacana yang dapat
berwujud teks media, pepatah dan peribahasa, cerita rakyat dan lain-lain dan
merupakan produk penggunaan bahasa yang mencerminkan bahasa sebagai sumber daya
yang memiliki bentuk, fungsi dan makna tersendiri. Fenomena kebahasaan tersebut
memberikan alternatif penelitian dan memiliki daya tarik tersendiri untuk
diangkat sebagai fokus kajian Linguistik Budaya.
10)
Neurolinguistik
Neurolinguistik adalah salah satu bidang kajian interdisipliner dalam
ilmu linguistik dan ilmu kedokteran yang mengkaji hubungan antara otak
manusia dengan bahasa.. Gangguan pada
kemampuan berbahasa karena kerusakan otak manusia disebut afasia, yaitu
(gangguan bicara karena mengalamigegar/trauma otak). Orang yang menderita
kerusakan bahasa ini dapat diamati dari ketidakmampuannya berbahasa secara
normal. Tiga fungsi dasar otak adalah fungsi pengaturan, proses dan
formulasi.Fungsi pengaturan bertanggungjawab untuk tingkat energi dan tonus
korteks secara keseluruhan. Fungsi proses berlokasi di belakang korteks,
mengontrol analisa informasi, pengkodean dan penyimpanan. Konteks yang lebih
tinggi bertanggung jawab untuk memproses rangsangan sensorik seperti rangsangan
optik, akustik dan olfaktori. Data dari tiap sumber digabungkan dengan sumber
sensori lainnya untuk dianalisa dan diformulasikan. Proses formulasi berlokasi
pada lobus frontal, bertanggung jawab untuk formasi intensi dan perilaku.
Fungsi utamanya adalah untuk mengaktifkan otak untuk pengaturan atensi dan
konsentrasi. (http://speechclinic.wordpress.com/2010/04/24/neurolinguistik/)
PEMBAHASAN
1.
LINGUISTIK MIKRO
Secara umum, bidang ilmu
bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang
linguistik murni mencakup fonologi
(fonetik/fonemik), morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan, bidang linguistik terapan mencakup psikolinguistik, sosiolinguistik, antropolinguistik, pragmatik dan
lain-lain. Beberapa bidang
tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.
A.
FONOLOGI
1.
FONETIK
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bunyi
bahasa dapat pula diartikan sebagai bunyi yang diartikulasikan yang
menghasilkan gelombang bunyi sehingga dapat diterima oleh telinga manusia.
a) Kajian bunyi bahasa
Fonetik merupakan kajian mengenai bunyi bahasa. Berdasarkan proses
terjadinya, fonetik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu; (1) Fonetik akustis yaitu mempelajari bunyi bahasa yang berupa getaran udara
dan mengkaji tentang frekuensi getaran bunyi, amplitudo, intensitas dan
timbrenya; (2) Fonetik auditoris
yaitu mempelajari bagaimana
mekanisme telinga menerima bunyi sebagai hasil dari udara yang bergetar; (3) Fonetik artikulatoris adalah fonetik yang
mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat ucap manusia menghasilkan bunyi
bahasa serta pengklasifikasian bahasa berdasarkan artikulasinya.
Dalam kesempatan kali ini hanya akan membahas mengenai fonetik
artikulatoris karena yang menjadi perhatian mengenai proses produksi bunyi
bahasa dan alat ucap apa saja yang beroperasi ketika bunyi itu diproduksi.
1. Produksi bunyi bahasa
Dalam proses pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor yang terlibat, yaitu; (1) sumber tenaga (udara yang dihembuskan oleh paru-paru); (2) alat ucap yang dilewati udara dari paru-paru (batang tenggorok,
kerongkongan, rongga mulut dan rongga hidung);(3) artikulator (penghambat).
Proses pembentukan bahasa melibatkan empat komponen, yaitu proses aliran
udara, proses fonansi, proses artikulasi dan proses orsonal. Produksi bunyi
melibatkan alat-alat ucap di sekitar mulut, hidung dan tenggorokan. Namun, pada
dasarnya alat ucap terdiri atas paru-paru, kerongkongan,
langit-langit, gusi dalam, gigi, bibir, dan lidah.
2. Klasifikasi
Bunyi Bahasa
Berdasarkan ada tidaknya artikulasi, yaitu; (1) vokal,
yaitu bunyi bahasa yang tidak mengalami hambatan pada saat pembentukannya; (2) konsonan, yaitu bunyi bahasa yang dibentuk dengan
menghambat arus udara pada sebagian alat ucap;(3) semi-vokal, yaitu
bunyi yang sebenarnya tergolong konsonan tetapi pada saat diartikulasikan belum
membentuk konsonan murni.
Berdasarkan jalan keluarnya arus udara, yaitu; (1) bunyi
nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup arus udara ke luar melalui
rongga mulut dan membuka jalan agar arus udara dapat keluar melalui rongga
hidung; (2) bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan
jalan mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak untuk menutupi
rongga hidung, sehingga arus udara keluar melalui mulut.
Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di artikulasikan, yaitu; (1) bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada
waktu diartikulasikan disertai ketegangan kuat arus; (2) bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu diartikulasikan tidak
disertai ketegangan kuat arus.
Berdasarkan lamanya bunyi diucapkan atau diartikulasikan, yaitu; (1) bunyi panjang; dan (2) bunyi pendek. Berdasarkan derajat kenyaringannya, bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring
dan bunyi tak nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya
ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang resonansi saluran
bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi derajat kenyaringannya. Begitu pula
sebaliknya.
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata, yaitu; (1) bunyi
tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku kata (semua bunyi vokal
atau monoftong dan konsonan); (2)
bunyi rangkap, yaitu dua
bunyi atau lebih yang terdapat dalam satu suku kata. Bunyi rangkap terdiri dari diftong (vokal rangkap): [ai], [au] dan [oi] dan- klaster (gugus konsonan): [pr], [kr], [tr] dan [bl].
Berdasarkan arus udara, yaitu;
(1) bunyi egresif, adalah bunyi yang dibentuk dengan cara mengeluarkan arus udara dari dalam
paru-paru. Bunyi egresif dibedakan menjadi bunyi egresif pulmonik
(dibentuk dengan mengecilkan ruang paru-paru,otot
perut dan rongga dada) dan bunyi egresif glotalik (terbentuk dengan cara merapatkan pita suara sehingga glotis dalam keadaan
tertutup); (2) bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk
dengan cara menghisap udara ke dalam paru-paru. Bunyi ingresif dibedakan
menjadi dua, yaitu ingresif glotalik (pembentukannya sama dengan egresif glotalik tetapi berbeda pada arus udara) dan ingresif velarik (dibentuk dengan menaikkan pangkal lidah
ditempatkan pada langit-langit lunak).
3. Pembentukan Vokal
Berdasarkan posisi bibir,
yaitu; (1) vokal bulat, yaitu
vokal yang diucapkan dengan bentuk bibir bulat. Misalnya, vokal [u], [o] dan
[a]; dan (2) vokal tak bulat, yaitu vokal yang diucapkan
dengan bentuk bibir tidak bulat atau melebar. Misalnya, [I], [e] dan [ə].
Berdasarkan tinggi rendahnya lidah, yaitu; (1) vokal
tinggi, yaitu vokal yang dibentuk jika rahang bawah merapat ke rahang atas :
[I] dan [u]; (2) vokal madya , yaitu vokal yang dibentuk
jika rahang bawah menjauh sedikit dari rahang atas : [a] dan [o]; (3) vokal rendah, yaitu vokal yang dibentuk jika rahang bawah dimundurkan lagi
sejauh-jauhnya : [a].
Berdasarkan maju mundurnya lidah,
yaitu; (1) vokal depan, yaitu
vokal yang dihasilkan oleh gerakan naik turunnya lidah bagian depan : [i]
dan[e]; (2) vokal tengah, yaitu vokal yang dihasilkan oleh
gerakan lidah bagian tengah: [a] dan [o]; dan (3) vokal belakang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh
gerakan naik turunnya lidah bagian belakang : [u] dan [o].
Berdasarkan strikturnya dibagi
menjadi empat. Striktur
adalah keadaan hubungan posisional artikulator (aktif) dengan artikulator pasif
atau titik artikulasi. Dilihat dari strikturnya, yaitu; (1) vokal
tertutup, yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin
mendekati langit-langit dalam batas vokal. [i] dan [u]; (2) vokal semi tertutup, yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat
duapertiga di atas vokal paling rendah : [e] dan[o]; (3) vokal semi terbuka, yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah diangkat dalam
ketinggian sepertiga di atas vokal paling rendah :[ɔ] dan [o]; (4) vokal terbuka, yaitu vokal yang dibentuk dengan lidah dalam posisi aerendah
mingkin : [a] dan [A].
4.
Pembentukan Konsonan
Berdasarkan daerah artikulasinya (struktur), yaitu; (1) konsonan bilabial, yaitu konsonan yang dihasilkan
dengan mempertemukan kedua belah bibir yang bersama-sama bertindak sebagai
artikulator dan titik artikulasi : [p], [b], [m] dan [w]; (2) konsonan labiodental, yaitu konsonan yang dihasilkan dengan mempertemukan
gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulator : [f]
dan [v]; (3) konsonan apiko-dental, yaitu konsonan yang
dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan daerah antar gigi (dents)
sebagai titik artikulasi : [t], [d] dan [n]; (4) konsonan
apiko-alveolar, yaitu konsonan yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai
arikulator dan lengkung kaki gaga (alveolum) sebagai titik artikulasi : [s],
[z[, [r] dan [l]; (5) konsonan paltal (lamino-palatal), yaitu
konsonan yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah (lamina) sebagai artikulator
dan langit-langit keras (plantum) sebagai titik artikulasi : [c], [j], [S], [n]
dan [y]; (6) konsonan velar (dorso-velar), yaiti
konsonan yang dihasilkan oleh belakang lidah (dorsum) sebagai artikulator dan
langit-langit lembut sebagai titik artikulasi : [k], [g], [x]; (7) konsonan glotal atau hamzah, yaitu konsonan yang dibentuk oleh posisi pita
suara sama sekali merapat sehingga menutup glotis : [?]; dan (8) konsonan laringal, yaitu konsonan yang dibentuk
dengan pita suara terbuka lebar sehingga udara keluar dan digesekan melalui
glotis : [h].
Berdasarkan cara artikulasinya,
diantaranya; (1) konsonan
hambat (stop), yaitu konsonan yang dihasilkan dengan cara menghalangi sama
sekali udara pada daerah artikulasi : [p], [t], [c],[k], [d], [j], dan [g]; (2) konsonan geser (frikatif), yaitu konsonan yang dibentukmdengan cara
menggesekkan udara yang keluar dari paru-paru : [h], [s], [S], [z] dan [x]; (3) konsonan likuida (lateral), yaitu konsonan yang dihasilkan dengan menaikkan
lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan dikeluarkan melalui
kedua sisi lidah : [l]; (4) konsonan getar (trill), yaitu konsonan yang
dihasilkan dengan cara menjauhkan dan mendekatkan lidah ke alveolum dengan
cepat dan berulang-ulang : [r];
dan (5) semi vokal, yaitu
konsonan yang pada saat diartikulasikan belum membentuk konsonan murni : [w]
dan [y].
Berdasarkan posisi pita suara,
yaitu; (1) konsonan
bersuara,yaitu konsonan yang terjadi jika ydara yang keluar dari rongga ujaran
turut menggetarkan pita suara : [b], [m], [v], [d], [r], [n], [j], [], [g] dan [r]; dan (2) konsonan tak bersuara, yaitu konsonan yang terjadi
jika udara yang keluar dari rongga ujaran tidak menggetarkan pita suara : [p],
[t], [c], [k], [?], [f], [S], [x] dan [h].
Berdasarkan jalan keluarnya udara, diantaranya; (1) konsonan
nasal,yaitu konsonan yang terjadi jika udara keluar melalui rongga hidung :
[m], [n] dan [p]; dan (2) konsonan
oral, yaitu konsonan yang terjadi jika udara keluar melalui rongga mulut,
contohnya adalah semua konsonan selain pada konsonan nasal.
b) Pengaruh dan Pemengaruh Bunyi Bahasa
1.
Proses
Asimilasi
Proses asimilasi adalah pengaruh yang mempengaruhi bunyi tanpa mempengaruhi
identitas fonem dan terbatas pada asimilasi fonetis saja. Berdasarkan arah
pengaruh bunyinya, proses asimilasi dibedakan menjadi; (a) Asimilasi Progresif, yaitu proses asimilasi yang terjadi apabila arah
pengaruhnya ke depan; dan (b) Asimilasi Regresif, yaitu proses asimilasi yang terjadi apabila arah
pengaruhnya ke belakang.
2.
Artikulasi
penyerta
Proses pengaruh bunyi yang disebabkan oleh artikulasi ini dibedakan menjadi; (a) Labialisasi, yaitu pembulatan bibir pada artikulasi
primer sehingga terdengar bunyi semi-vokal [w] pada bunyi utama
tersebut. Misalnya, bunyi [t] pada kata tujuan terdengar sebagai bunyi [tw]; (b) Retrofleksi, yaitu penarikan ujung lidah ke
belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utama.
Misalnya, [kr] dari bunyi [k] pada kata kardus;(c) Palatalisasi, yaitu
pengangkatan daun lidah ke arah langit-langit keras pada artikulasi primer.
Misalny bunyi [p] pada kata piara terdengar sebagai [py]; (d) Velarisasi, yaitu
pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada artikulasi primer.
Misalnya, bunyi [m] pada kata mahluk terdengar sebagai [mx]; (e) Glotalisasi, yaitu proses penyerta hambatan pada
glottis atau glottis tertutup rapat sewaktu artikulasi primer diucapkan. Vokal
dalam bahasa Indonesia sering diglotalisasi. Misalnya, bunyi [o] pada kata obat terdengar
sebagai [ɔ].
3.
Pengaruh
Bunyi karena Distribusi
a)
Pengaruh
bunyi karena distribusi menimbulkan proses-proses sebagai berikut; Aspirasi, yaitu pengucapan suatu bunyi disertai dengan hembusan keluarnya
udara dengan kuat sehingga terdengar bunyi [h]. Misalnya, konsonan letup
bersuara [b,d,j,g] terdengar sebagai [bh,dh,jh,gh].
b)
Pelepasan,
yaitu pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat tetapi tidak
dihambat dan dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Pelepasan dibedakan
menjadi tiga, yaitu; (1) lepas tajam atau lepas penuh, yaitu
pelepasan alat-alat artikulasi dari titik artikulasinya yang terjadi secara
tajam atau secara penuh; (2) lepas nasal,
yaitu suatu pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi nasal didepannya; (3) lepas sampingan , yaitu pelepasan yang terjadi karena adanya bunyi sampingan
didepannya; dan (3) Pemgafrikatan , yaitu suatu keadaan yang
terjadi jika bunyi letup hambat yang seharusnya dihambat dan diletupkan tidak
dilakukan, melainkan setelah hambatan dilepaskan secara bergeser dan
pelan-pelan.
4.
Kehomorganan
Kehomorganan yaitu konsonan yang mempiunyai sifat khusus. Terdapat dua
jenis kehomorganan, yaitu; (a) kehomorganan penuh adalah kehomorganan yang muncul akibat
perbedaan bunyi; dan (b) kehomorganan
sebagian adalah kehomorganan yang muncul apabila
perbedaan diantara pasangan fonem tersebut pada cara artikulasinya, sedangkan
daerah artikulasinya sama.
c)
Transkripsi Bunyi Bahasa
Transkripsi adalah penulisan tuturan atau perubahan teks dengan tujuan
untuk menyarankan lafal bunyi, fonem, morfem atau tulisan sesuai dengan ejaan
yang berlakudalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya. Transkripsi dibedakan
menjadi.
a.
Transkripsi fonetis, yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi. Tanda […]
b.
Transkripsi fonemis, yaitu transkripsi bahasa menurut fonem. Tanda /…/
c.
Transkripsi fonemis, yaitu penulisan pengubahan menurut morfem. Tanda {…}
d.
Transkripsi ortografis, yaitu penulisan pengubahan menurut huruf atau ejaan
bahasa yangt menjadi tujuannya. Tanda <…>.
Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke
abjad yang lain tanpa menghiraukan lafal bunyi kata yang bersankutan. Misalnya,
transliterasi dari aksara jawa dialihkan ke huruf abjad latin.
d) Bunyi Suprasegmental
Ciri-ciri
bumyi suprasegmental antara lain :
a. Jangka,
yaitu panjang pendeknya bunyi yang diucapkan. Tanda […]
b. Tekanan,
yaitu penonjolan suku kata dengan memperpanjang pengucapan, meninggikan nada
dan memperbesar intensitas tenaga dalam pengucapan suku kata tersebut.
c. Jeda
atau sendi, yaitu ciri berhentinya pengucapan bunyi. Sendi dibedakan menjadi:
- Sendi
tambah (+), yaitu jeda yang berada di antara dua suku kata. Ukuran panjangnya
kurang dari satu fonem.
- Sendi
tunggal (/), yaitu jeda yang berada di antara dua kata dalam frasa dengan
ukuran panjang satu fonem.
- Sendi
rangkap (//), yaitu jeda yang berada d iantara dua fungsi unsure klausa atau
kalimat, di antara subjek dan predikat.
- Sendi
kepang rangkap (#), yaitu jeda yang berada sebelum dan sesudah tuturan sebagai
tanda diawali dan diakhirinya tuturan.
d.
Intonasi dan ritme
Intonasi
adalah cirri suprasegmental yang berhubungan dengan naik turunnya nada dalam
pelafalan kalimat.
Ritme
adalah cirri suprasegmental yang brerhubungan dengan pola pemberian tekanan
pada kata dalam kalimat.
2.
FONEMIK
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya
satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna. Sedangkan, fonemisasi adalah usaha untuk menemukan bunyi-bunyi
yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut.
a.
Pengenalan Fonem
Dalam mengenal fonem terdapat beberapa pokok pikiran umum yang disebut
premis-premis fonologis. Berdasarkan sifat umumnya premis-premis bahasa
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bunyi
bahasa mempunyai kencenderungan untuk dipengaruhi oleh lingkungannya.
2.
Sistem
bunyi mempunyai kecenderungan bersifat simetris.
3.
Bunyi-bunyi
bahasa yangsecara fonetis mirip harus digolongkan ke dalam kelas-kelas bunyi
(fonem) yang berbeda, apabila terdapat pertentangan di dalam lingkungan yang
sama.
4.
Bunyi-bunyi
yang secara fonetis mirip dan terdapat di dalam distribusi yang komplementer,
harus dimasukkan ke dalam kelas-kelas bunyi (fonem) yang sama.
b.
Beban Fungsional Fonem
Dalam kajian fonologi sering dipaparkan beban fungsional dari oposisi
fonemis tertentu. Beban oposisi rendah terdapat pada bunyi /p/ dan /f/ pada
kata kapan dan kafan, sedangkan beban oposisi
tinggi terdapat pada bunyi /k/ dan /g/ pada kata gita dan kita.
c.
Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan sebenarnya dari ciri atau satuan
fonologis, yaitu fonem menjadi bunyi bahasa.
1.
Realisasi
vokal berdasarkan pembentukannya, realisasi fonem vokal
dibedakan sebagai berikut :
a. Fonem /i/ adalah vokal tinggi-depan-tak bulat.
b. Fonem /u/ adalah vokal atas-belakang-bulat.
c. Fonem /e/ adalah vokal sedang-depan-bulat.
d. Fonem /ə/ adalah vokal sedang-tengah-bulat.
e. Fonem /o/ adalah vokal sedang-belakang-bulat
f. Fonem /a/ adalah vokal rendah-tengah-bulat.
2.
Realisasi
konsonan
Berdasarkan
cara pembentukannya, realisasi fonem konsonan dibedakan sebagai berikut :
a. Konsonan hambat
b. Konsonan Frikatif
c. konsonan getar-alveolar
d. konsonan lateral-alveolar
e. konsonan nasal
f. semi-vokal .
d.
Variasi Fonem
Variasi fonem ditentukan oleh lingkungan dalam distribusi yang komplementer
disebut variasi alofonis. Variasi fonem yang tidak membedakan bentuk dan arti
kata disebut alofon.
1.
Alofon
vokal
- Alofon
fonem /i/, yaitu
[i] jika
terdapat pada suku kata terbuka. Misalnya, [bibi] /bibi/
[I] jika
terdapat pada suku kata tertutup. Misalnya, [karIb] /karib/
[Iy]
palatalisasi jika diikuti oleh vokal [aou]. [kiyos] /kios/
[ϊ]
nasalisasi jika diikuti oleh nasal. [ϊndah] /indah/
- Alofon
fonem /ε/, yaitu
[e] jika
terdapat pada suku kata terbuka dan tidak diikuti oleh suku kata yang
mengandung
alofon [ε]. Misalnya, [sore] /sore/
[ε] jika
terdapat pada tempat-tempat lain. Misalnya, [pεsta] /pesta/
[ǝ] jika terdapat
pada posisi suku kata terbuka. [pǝta]/peta/
[ǝ] jika terdapat
pada posisi suku kata tertutup. [sentǝr]/senter/
- Alofon
fonem /o/, yaitu
[o] jika
terdapat pada suku kata akhir terbuka. [soto]/soto/
[ɔ] jika
terdapat pada posisi lain. [jeblɔs]/jeblɔs/
- Alofon
fonem /a/, yaitu
[a] jika
terdapat pada semua posisi suku kata.
[aku] /aku, [sabtu] /sabtu/
- Alofon
fonem /u/, yaitu
[u] jika
terdapat pada posisi suku kata terbuka.
[aku] /aku/, [buka] /buka/
[U] jika
terdapat pada suku kata tertutup.
[ampUn]/ampun/,
[kumpul] /kumpul/
[uw]
labialisasi jika diikuti oleh[I,,a].
[buwih] /buih/, [kuwe] /kue/
2.
Alofon
konsonan
- fonem
/p/
[p] bunyi
lepas jika diikuti vokal, misalnya: [pipi] /pipi/, [sapi] /sapi/.
[p>]
bunyi tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup, misalnya: [atap>] /atap/, [balap>] /balap/
[b] bunyi
lepas jika diikuti oleh vocal,
misalnya: [babi] /babi/, [babu] /babu/
[p>]
bunyi taklepas jika terdapat pada suku kata tertutup, namun berubah lagi
menjadi [b] jika diikuti lagi vokal,
misalnya: [adap>] /adab/, [jawap>] /jawab/
- Fonem
/t/
[t] bunyi
lepas jika diikutu oleh vokal,
misalnya: [tanam] /tanam/, [tusuk] /tusuk/
[t>] bunyi tak lepas
jika terdapat pada suku kata tertutup, misalnya: [lompat>] /lompat/,[sakit>]
/sakit/.
[d] bunyi lepas jika diikuti vocal, misalnya: [duta]
/duta/, [dadu] /dadu/.
[t>] bunyi
hambat-dental-tak bersuara dan tak lepas jika terdapat pada suku kata tertutup
atau pada akhir kata, misalnya: [abat>] /abad/,[murtat>] /murtad/
- Fonem /k/
[k] bunyi lepas jika terdapat pada
awal suku kata, misalnya: [kala]/ kala/, [kelam] /kelam/.
[k>] bunyi tak lepas
jika tedapat pada tengah kata dan diikuti konsonan lain, misalnya:m[pak>sa]
/paksa/, [sik>sa] /siksa/.
[?] bunyi hambat glottal jika
terdapat pada akhir kata, misalnya:
[tida?] /tidak/ [ana?] /anak/
- Fonem /g/
[g] bunyi lepas jika diikuti glottal,
misalnya: [gagah]
/gagah/, [gula] /gula/
[k>] bunyi
hambat-velar-tak bersuara dan lepas jika terdapat di akhir kata, misalnya: [beduk>]
/bedug/,[gudek>] /gudeg/
- Fonem /c/
[c] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [cari]
/cari/, [cacing] /cacing/
- Fonem /j/
[j] bunyi lepas jika diikuti vokal, misalnya: [juga] /juga/,
[jadi] /jadi/
- Fonem /f/
[j] jika terdapat pada posisi
sebelum dan sesudah vokal, misalnya:
[fakir] /fakir/, [fitri] /fitri/
- Fonem /p/
[p] bunyi konsonan
hambat-bilabial-tak bersuara, misalnya:
[piker] /piker/, [hapal] /hapal/
- Fonem /z/
[z] [zat] /zat/, [izin]- /izin/
- Fonem /š/
[š] umumnya terdapat di awal dan
akhir kata, misalnya: [šarat] /syarat/, [araš] /arasy/
- Fonem /x/
[x] berada di awal dan akhir suku
kata, misalnya: [xas] /khas/, [xusus] /khusus/
- Fonem /h/
[h] bunyi tak bersuara jika terdapat
di awal dan akhir suku kata, misalnya:
[hasil] /hasil, [hujan] /hujan/
[H] jika berada di tengah kata, misalnya: [taHu]
/tahu/, [laHan] /lahan/
- Fonem /m/
[m] berada di awal dan akhir suku
kata, misalnya: [masuk] /masuk/, [makan] /makan/
- Fonem /n/
[n] berada di awal dan akhir suku
kata, misalnya: [nakal] /nakal/, [nasib] /nasib/
- Fonem /ň/
[ň] berada di awal suku kata, misalnya: [baňak]
/banyak/, [buňi] /bunyi/
- Fonem /Ƞ/
[Ƞ] berada di awal dan akhir suku
kata, misalnya: [Ƞarai] /ngarai/, [paȠkal] /pangkal/
- Fonem /r/
[r] berada di awal dan akhir suku
kata, kadang-kadang bervariasi dengan bunyi getar uvular [R], misalnya: [raja] atau
[Raja] /raja/, [karya] atau [kaRya] /karya/
- Fonem /l/
[l] berada di awal dan akhir suku
kata, misalnya: [lama] /lama/, [palsu] /palsu/
- Fonem /w/
[w] merupakan konsonan jika terdapat
di awal suku kata dan semi vokal pada akhir suku kata, misalnya: [waktu]
/waktu/, [wujud] /wujud/
- Fonem /y/
[y] merupakan konsonan jika terdapat
di awal suku kata dan semi vocal pada
akhir suku kata, misalnya: [santay] /santai/,
[ramai] /ramai/
e.
Netralisasi dan Akrifonem
Netralisasi
adalah alternasi fonem akibat pengaruh lingkungan atau pembatalan perbedaan
minimal fonem pada posisi tertentu. Alternasi fonem adalah perubahan fonem
menjadi fonem lain tanpa membedakan makna. Adanya bunyi /t/ pada akhir lafal
kata [babat] untuk /babad/ adalah hasil netralisasi.
Arkifonem adalah
golongan fonem yang kehilangan kontras pada posisi tertentu dan biasa
dilambangkan dengan huruf besar seperti/D/ yang memiliki alternasi atau varian
fonem /t/ dan fonem /d/ pada kata [babat] untuk /babad/.
f.
Pelepasan Fonem dan Kontraksi
Pelepasan bunyi
adalah hilangnaya bunyi atau fonem pada awal, tengah dan akhir sebuah kata
tanpa mengubah makna. Contoh : /tetapi/ menjadi /tapi/.
Pelepasan dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)
Aferesis, yaitu pelepasan fonem
pada awal kata, misalnya: /tetapi/ menjadi /tapi/, /baharu/ menjadi /baru/.
2)
Sinkope, yaitu pelepasan fonem
pada tengah kata, misalnya: /silahkan/ menjadi /silakan/, /dahulu/ menjadi /dulu/.
3)
Apokope, yaitu pelepasan fonem
pada akhir kata, misalnya: /president/ menjadi /president/, /standard/ menjadi /standar/
Jenis pelepasan
bunyi yang lain adalah haplologi ,yaitu pemendekan pada sebuah kata
karena penghilangan suatu bunyi atau suku kata pada pengucapannya. Misalnya :
tidak ada menjadi tiada, bagaimana menjadi gimana.
g.
Disimilasi
Disimilasi adalah
perubahan bentuk kata karena salah satu dari dua buah fonem yang sama diganti
dengan fonem yang lain. Contoh disimilasi :
1)
Disimilasi sinkronis, contohnya
: ber + ajar/ belajar. Fonem /r/ pada awalan ber- diubah menjadi /l/.
2)
Disimilasi diakronis, contohnya
: kata cipta berasal dari bahasa Sansekerta yaitu citta. Jadi
terdapat perubahan dari fonem /tt/ menjadi /pt/.
h.
Metatesis
Metatesis adalah
letak dua segmen yang dapat dipertukarkan, dalam proses metatesis yang diubah
adalah urutan fonem-fonem tertentu yang biasanya terdapat bersama dengan bentuk
asli, sehingga ada variasi bebas. Misalnya, jalur menjadi lajur, almari menjadi
lemari.
B. MORFOLOGI
1. Proses Morfologis
Proses morfologis
menurut Samsuri (1985:190) adalah cara pembentukan kata-kata dengan
menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Kata disebutnya sebagai
bentuk minimal yang bebas, artinya bentuk itu dapat diucapkan tersendiri, bisa
dikatakan, dan bisa didahului dan diikuti oleh jeda yang potensial. Di samping
itu, bentuk itu akan mendapat pola intonasi dasar/[2]31/. Bentuk-bentuk seperti
/apa/, /mana/ akan mendapat kontur intonasi /31/; /keras/, /beras/ akan
mendapat kontur intonasi /231/, /pas/, /ban/ akan mendapat kontur intonasi 31/;
/menara/ berkontur intonasi /[2]231/. Jadi, proses morfologis adalah proses
penggabungan morfem menjadi kata.
Proses
morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4)
suplisi, dan (3) modifikasi kosong (Samsuri, 190-193). Namun, di dalam bahasa
Indonesia yang bersifat aglutinasi ini tidak ditemukan data proses morfologis
yang berupa perubahan intern, suplisi, dan modifikasi kosong. Jadi, proses
morfologis dalam bahasa Indonesia hanya melalui afiksasi dan reduplikasi.
a) Afiksasi
Afiksasi
menurut Samsuri (1985: 190), adalah penggabungan akar kata atau pokok dengan
afiks. Afiks ada tiga macam, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Karena
letaknya yang selalu di depan bentuk dasar, sebuah afiks disebut awalan atau
prefiks. Afiks disebut sisipan (infiks) karena letaknya di dalam kata,
sedangkan akhiran (sufiks) terletak di akhir kata. Dalam bahasa Indonesia,
dengan bantuan afiks kita akan mengetahui kategori kata, diatesis aktif atau
pasif, tetapi tidak diketahui bentuk tunggal atau jamak dan waktu kini serta
lampau seperti yang terdapat dalam bahasa Inggris.
b) Prefiks (Awalan)
· Prefiks be(R)-
Prefiks be(R)-
memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi be-
dan bel-. Be(R)- berubah menjadi be- jika (a) kata yang
dilekatinya diawali dengan huruf r dan (b) suku kata pertama diakhiri
dengan er yang di depannya konsonan.
be(R)- + renang → berenang .
be(R)+ ternak —
beternak
be(R)+kerja --
bekerja
·
Prefiks me (N)-
Prefiks me(N)-
mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu mem-, men-, meny-,
meng-, menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah menjadi
mem- jika bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/, /f/, /p/,
dan /v/, misalnya:
me(N)- + baca →membaca
me(N)- + pukul → memukul.
Prefiks me(N)-
berubah menjadi men- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf
/d/, /t/, /j/, dan /c/, misalnya, me(N)-
+ data → mendata, me(N)- + tulis → menulis, me(N)-+
jadi → menjadi, dan me(N)- + cuci →mencuci. Prefiks me(N)-
berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf
/s/, misalnya, me(N)- + sapu → menyapu. Prefiks me(N)-
berubah menjadi meng- jika bergabung dengan kata yang diawali dengan
huruf /k/ dan /g/, misalnya, me(N)- + kupas →mengupas dan me(N)-
+ goreng menggoreng. Prefiks me(N)- berubah menjadi menge-
jika bergabung dengan kata yang terdiri dari satu suku kata, misalnya, me(N)-
+ lap → mengelap, me(N)- + bom→ mengebom, dan me(N)-
+ bor→ mengebor.
·
Prefiks pe (R)-
Prefiks pe(R)-
merupakan nominalisasi dari prefiks be(R). Perhatikan contoh
berikut!
Berawat→ perawat
Bekerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- mempunyai
variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)- berubah
menjadi pe, jika bergabung dengan kata yang diawali huruf r dan
kata yang suku katanya berakhiran er, misalnya, pe(R)- + rawat
→perawat dan pe(R)-
+ kerja→ pekerja. Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel-
jika bergabung dengan kata ajar, misalnya, pe(R)- + ajar→ pelajar.
·
Prefiks pe(N)-
Prefiks pe(N)-
mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar dengan prefiks me(N)-.
Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-, peny-,
peng-, pe-, dan penge-. Prefiks pe(N)- berubah
menjadi pem- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /t/,
/d/, /c/, dan /j/, misalnya, penuduh, pendorong,
pencuci, dan penjudi. Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem-
jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/,
misalnya, pebaca dan pemukul. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi peny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf
/s/, misalnya, penyaji. Prefiks pe(N)- berubah menjadi peng-
jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /g/ dan /k/,
misalnya, penggaris dan pengupas. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi penge- jika bergabung dengan kata yang terdiri atas satu
suku kata, misalnya, pengebom, pengepel, dan pengecor. Prefiks pe(N)-
berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /m/,
/l/, dan /r/, misalnya, pemarah, pelupa, dan perasa.
·
Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)-
mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel-, misalnya, terbaca,
ternilai, tertinggi, dan telanjur.
c) Infiks (Sisipan)
Infiks
termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif. Infiks dalam bahasa
Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-, dan –er-.
1. Infiks -el-,
misalnya, geletar;
2. Infiks -er-,
misalnya, gerigi, seruling; dan
3. Infiks -em-,
misalnya, gemuruh, gemetar
d) Sufiks (Akhiran)
Sufiks
dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti wan (karyawan), wati
(karyawati), man (seniman). Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan,
dan –i.
1. sufiks -an, misalnya,
dalam ayunan, pegangan, makanan;
2. sufiks -i, misalnya,
dalam memagari memukuli, meninjui;
3. sufiks -kan, misalnya,
dalam memerikan, melemparkan; dan
4. sufiks -nya, misalnya,
dalam susahnya, berdirinya.
e) Konfiks
Konfiks
adalah “gabungan afiks yang berupa prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang merupakan
satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks gabungan itu muncul secara
serempak pada morfem dasar dan bersama-sama membentuk satu makna gramatikal
pada kata
bentukan itu” (Keraf,
1984: 115). Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa Indonesia.
1. konfiks pe(R)-an
misalnya, dalam perbaikan, perkembangan,
2. konfiks pe(N)-an
misalnya, dalam penjagaan, pencurian,
3. konfiks ke-an
misalnya, kedutaan, kesatuan,
4. konfiks be(R)-an
misalnya, berciuman.
f) Reduplikasi
Reduplikasi
adalah proses pengulangan kata dasar baik keseluruhan maupun sebagian.
Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat dibagi sebagai berikut:
1.
pengulangan seluruh
Dalam
bahasa Indonesia perulangan seluruh adalah perulangan bentuk dasar tanpa
perubahan fonem dan
tidak dengan proses afiks.
Misalnya: orang →
orang-orang, cantik →
cantik-cantik
2.
pengulangan sebagian
Pengulangan
sebagian adalah pengulangan sebagian morfem dasar, baik bagian awal maupun
bagian akhir morfem. Misalnya:
tamu →
tetamu
berapa →
beberapa
3.
pengulangan dengan perubahan fonem
Pengulangan
dengan perubahan fonem adalah morfem dasar yang diulang mengalami perubahan
fonem. Misalnya: lauk → lauk-pauk, gerak → gerak-gerik
4.
pengulangan berimbuhan.
Pengulangan
berimbuhan adalah pengulangan bentuk dasar diulang secara keseluruhan dan
mengalami proses pembubuhan afiks. Afiks yang dibubuhkan bisa berupa prefiks,
sufiks, atau konfiks. Perhatikan data berikut!
batu →
batu-batuan
hijau →
kehijau-hijauan
tolong →
tolong-menolong
C.
SINTAKSIS
Frasa
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat
nonpredikatif. Frasa membicarakan hubungan antara sebuah kata dan kata yang
lain. Frasa terdiri atas frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris
terdiri atas frasa eksosentris direktif (berpartikel) dan frasa eksosentris
nondirektif (konektif dan predikatif). Frasa endosentris terdiri atas frasa
endosentris berinduk tunggal dan frasa endosentris berinduk jamak. Frasa
endosentris berinduk tunggal dapat dibedakan menjadi frasa nominal, frasa
pronominal, frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa numeral. Frasa
endosentris berinduk jamak terbagi menjadi frasa koordinatif dan frasa
apositif.
Frasa Eksosentris
Frasa eksosentris adalah frasa yang sebagian atau
seluruhnya tidak memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan semua
komponennya, baik dengan sumbu maupun dengan preposisi. Frasa eksosentris
mempunyai dua komponen. Komponen yang pertama berupa perangkai dan perangkai
itu berwujud preposisi partikel dan komponen kedua berupa sumbu. Frasa yang
berperangkai preposisi disebut frasa preposisional atau frasa eksosentris
direktif. Frasa yang berperangkai lain disebut frasa eksosentris nondirektif.
a.
Frasa Eksosentris Direktif
(Frasa Preposisional)
Pada dasarnya, frasa preposisional menunjukkan makna
berikut:
·
Tempat, seperti di kampus, ke sekolah, dan pada lemari.
·
Asal arah, seperti dari rumah dan dari kampung.
·
Asal bahan, seperti (cincin) dari emas dan (jaket) dari kulit.
·
Tujuan arah, seperti ke Lombok dan ke kampus.
·
Menunjukkan peralihan, seperti kepada saya dan (percaya) terhadap Tuhan.
·
Perihal, seperti tentang bahasa dan (terkenang) akan kebaikannya.
·
Tujuan, seperti untukmu dan buatku
·
Sebab, seperti karena, lantaran, sebab, gara-gara (kamu).
·
Penjadian, seperti oleh karena dan untuk itu.
·
Kesertaan, seperti denganku dan dengan ibu.
·
Cara, seperti dengan baik dan dengan senang.
·
Alat, seperti dengan palu dan dengan penggaris.
·
Keberlangsungan, seperti sejak kemarin, dari tadi, dan sampai nanti.
·
Penyamaan, seperti selaras dengan, sesuai dengan, dan sejalan
dengan.
·
Perbandingan, seperti sebagai bandingan dan seperti dia.
b.
Frasa Eksosentris Nondirektif
Frasa eksosentris nondirektif dapat dibedakan menjadi
(a) frasa yang sebagian atau seluruhnya memiliki perilaku yang sama dengan
bagian-bagiannya, seperti si kancil, si terdakwa, sang kancil, sang kekasih, kaum marginal, kaum pengusaha, para pemuda;
(b) frasa yang seluruhnya berperilaku sama dengan salah satu unsurnya. Artinya,
terdakwa dan kekasih memiliki perilaku sama dengan si terdakwa atau sang kekasih.
Misalnya sama-sama dapat menduduki fungsi subjek atau objek. Berikut contohnya.
·
Aku bertanya kepada (si) terdakwa.
·
Ia tampak gusar menunggu
kedatangan (sang) kekasih.
·
(Si) terdakwa menembak rekannya yang
justru ingin menolongnya.
·
(Sang) kekasih rupanya kini telah
berperan ganda, sebagai kekasih sekaligus sebagai manajer tim.
Akan tetapi, ada juga frasa yang tidak memiliki perilaku
yang sama dengan bagian-bagiannya, seperti yang
mulya, yang besar, yang hebat, yang itu, yang muda, yang bercinta. Jadi, yang hebat tidak berperilaku sama dengan
yang dan tidak berperilaku sama pula
dengan mulya atau hebat.
Frasa Endosentris
Frasa endosentris adalah frasa yang seluruhnya memiliki
perilaku sintaksis yang sama dengan perilaku salah satu komponennya. Frasa
endosentris dapat dibedakan menjadi frasa endosentris berinduk tunggal (frasa
modifikatif) dan frasa endosentris berinduk jamak.
a.
Frasa Endosentris Berinduk
Tunggal (Frasa Modifikatif)
Frasa endosentris berinduk tunggal terdiri atas induk
yang menjadi penanda kategorinya dan modifikator yang menjadi pemerinya. Frasa
endosentris berinduk tunggal dapat diperinci sebagai berikut.
·
Frasa nominal adalah frasa yang
terdiri atas nomina (sebagai pusat) dan unsur lain yang berupa adjektiva,
verba, numeralia, demonstrativa, pronomina, frase preposisional, frasa dengan yang, konstruksi dengan yang ...-nya,
atau frasa lain. Contoh: meja batu, kursi
rotan, tukang septau, dokter mata, teman separtai, aturan setempat, anak manis,
orang yang dicintainya.
·
Frasa Pronominal adalah frasa
yang terdiri atas gabungan pronomina dan pronomina atau gabungan pronomina dan
adjektiva, adverbia, numeralia, atau demonstrativa. Contoh: kami berdua, engkau sendiri, mereka itu,
kalian ini, tidak hanya kamu, kamu dan dia.
·
Frasa verbal adalah frasa yang
terdiri atas gabungan verba dan verba atau gabungan verba dan adverbia atau
gabungan verba dan preposisi gabungan. Contoh: pergi kerja, berlari cepat, bernyanyi merdu, tidur dengan nyamuk.
·
Frasa adjektival adalah frasa
yang terdiri atas gabungan beberapa kata atau yang terdiri atas induk
berkategori adjektiva dan modifikator berkategori apa pun, asalkan seluruhnya
berprilaku sebagai adjektiva. Contoh: sedikit
masam, agak pusing, cantik benar, gagah berani, panas terik, hitam kelam,
sering tidak ingat, agak nakal juga.
·
Frasa numeral adalah frasa yang
terdiri atas numeralia sebagai induk dan unsur perluasan lain yang mempunyai
hubungan subordinatif dengan nomina penggolong bilangan, dan nomina ukuran.
Contoh: sembilan gelas, dua lusin, dua
atau tiga, sudah lima, beribu-ribu lalat, beberapa sak semen.
b.
Frasa Endosentris Berinduk
Banyak
Frasa endosentris berinduk banyak terdiri atas beberapa
komponen yang sederajat dalam fungsi dan kategori. Frasa ini terbagi menjadi
frasa koordinatif dan frasa apositif.
·
Frasa Koordinatif adalah frasa
endosentris berinduk banyak, yang secara potensial kompenennya dapat
dihubungkan dengan partikel, seperti dan,
ke, atau, tetapi, ataupun konjungsi korelatif, seperti baik ... maupun dan makin
...makin. Contoh: kaya atau miskin,
untuk dan atas nama klien, baik merah maupun biru, makin tua makin bermutu.
Jika tidak menggunakan partikel, agbungan itu disebut frasa prataktis, seperti tua muda, besar kecil, ibu bapak, dan kaya miskin.
·
Frasa Apositif adalah frasa
endosentris berinduk banyak yang secara luar bahasa komponennya menunjuk pada
maujud yang sama. Contoh: Megawati
Soekarnoputri, salah seorang mantan Presiden Republik Indonesia.
Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok
kata, yang sekurang-kurangnya memiliki sebuah predikat, dan berpotensi menjadi
kalimat. Dengan kata lain, klausa membicarakan hubungan sebuah gabungan kata
dan gabungan kata yang lain.
Klausa dapat dibedakan berdasarkan distribusi satuannya
dan berdasarkan fungsinya. Berdasarkan distribusi satuannya, klausa dapat
dibedakan menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Berdasarkan fungsinya,
klausa dapat dibedakan menjadi klausa subjek, klausa objek, klausa keterangan,
dan klausa pemerlengkapan.
1. Klausa Berdasarkan
Distribusi Satuan
Berdasarkan potensinya untuk dibentuk menjadi kalimat,
klausa dapat dibagi menjadi klausa bebas dan klausa terikat. Klausa bebas
adalah klausa yang berpotensi menjadi kalimat lengkap. Klausa terikat adalah
klausa yang tidak berpotensi menjadi kalimat lengkap, tetapi hanya berpotensi menjadi
kalimat minor.
2. Klausa Berdasarkan Fungsi
Berdasarkan fungsinya, klausa ternyata dapat menduduki
fungsi subjek, objek, keterangan, dan pelengkap.
a.
Subjek
Subjek adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau
frasa nominal yang menandai apa yang dinyatakan oleh pembicara (penulis). Di
dalam bahasa Indonesia, subjek biasanya mendahului predikat, seperti:
·
Kami sekeluarga berlibur
·
Berenang itu menyehatkan
Kedua klausa itu disebut klausa inti karena terdiri atas
subjek (kami sekelurga, berenang itu) serta predikat (berlibur, menyehatkan). Kedua klausa itu dapat menjadi inti kalimat, yang
bagian-bagiannya juga tetap menduduki fungsi subjek dan predikat, seperti:
·
Kami sekeluarga bulan yang lalu berlibur di Bali.
·
Berenang itu ternyata dapat turut menyehatkan fisik dan mental.
b.
Objek
Objek adalah bagian klausa yang berwujud nomina atau
frasa nominal yang melengkapi verba transitif. Obje dikenai pebuatan yang
disebutkan dalam predikat verbal. Objek dapat dibagi menjadi objek langsung dan
objek tak langsung.
Objek langsung
adalah objek yang langsung dikenai perbuatan yang disebut dalam predikat
verbal; objek tak langsung adalah objek yang menjadi penerima atau yang
diuntungkan oleh perbuatan yang terdapat dalam predikat verbal. Contoh objek
langsung:
·
Bibi sedang menanak nasi.
·
Ibu membawa minuman.
Nasi pada contoh di atas merupakan objek bagi verba menanak dan minuman
menjadi objek bagi verba membawa.
Contoh objek tak langsung:
·
Bibi sedang menanakkan nasi
untuk kita semua.
·
Ibu membawakan minuman untuk ayah.
Kita semua objek tak langsung
bagi verba menanakkan, sedangkan ayah objek tak langsung bagi verba membawakan.
c.
Keterangan
Klausa keterangan adalah klausa yang menjadi bagian luar
inti, yang berfungsi meluaskan atau membatasi makna subjek atau makna predikat.
Contohnya:
·
Keterangan akibat: penjahat itu
dihukum mati
·
Keterangan sebab: karena sakit, ia tidak jadi ikut
·
Keterangan jumlah: bagai pinang
dibelah dua
·
Keterangan alat: dinaikkan
dengan mesin pengangkat
·
Keterangan cara: diterima dengan baik
·
Keterangan kualitas: berlari bagai kilat
·
Keterangan modalitas: mustahil ia berbohong
·
Keterangan pewatas: keterangan lebih lanjut, diceritakan lebih detail
·
Keterangan subjek: guru yang baik, rumah yang bersih
·
Keterangan syarat: angkatlah jika kuat
·
Keterangan objek: menjadi istri yang baik
·
Keterangan tujuan: bekerja untuk hidup
·
Keterangan tempat: datang dari Lombok, pergi ke Solo
·
Keterangan waktu: ditunggu sampai besok pagi, berangkat masih
subuh
·
Keterangan perlawanan: meskipun lambat, selesai juga dikerjakannya
d.
Pelengkap
Klausa pelengkap adalah klausa yang terdiri atas nomina,
frasaa nomina, ajektiva, atau frasa adjektiva yang merupakan bagian dari
predikat verbal, seperti:
·
Abangku menjadi pilot
·
Kami bermain bola
·
Aku dianggap patungpaman
berdagang kain
·
Negara kita berdasarkan pancasila
3. Klausa Berdasarkan
Struktur
a.
Klausa Verbal
Klausa verbal adalah klausa yang predikatnya verba.
Contohnya:
·
Saya makan
·
Ibu menyiapkan makanan
Klausa verbal terdiri atas klausa verbal aktif transitif
dan klausa verbal aktif tak transitif. Klausa verbal aktif adalah klausa yang
menunjukkan bahwa subjek melakukan pekerjaan seperti yang disebutkan dalam
predikat verbalnya. Verba yang menjadi predikatnya berimbuhan meng- atau ber-. Contohnya:
·
Adik menangis
·
Kami bermain bola
Klausa verbal aktif transitif adalah klausa yang
predikat verbalnya mempunyai sasaran dan/atau mempunyai objek. Verba yang
menjadi predikatnya berimbuhan meng-,
meng-/-i, meng-/-kan. Contohnya:
·
Aku mengirimkan surat
·
Bibi menjual makanan
Selain itu ada juga verbal aktif yang tidak menyebutkan
objek karena objek itu amat dipahami masyarakat pemakai bahasa. Misalnya,
pemakai bahasa Indonesia dapat memahami bahwa klausa mereka makan bersama berarti ‘mereka makan nasi bersama’ dan kelakuannya sangat menarik berarti
‘kelakuannya sangat menarik hati’.
Klausa verbal aktif transitif resiprokal adalah klausa
yang subjeknya melakukan pekerjaan yang disebut predikat verbalnya, tetapi
secara berbalasan atau klausa yang subjeknya saling melakukan pekerjaan yang
disebutkan predikat verbalnya.
Klausa jenis ini ada yang bersubjek tunggal dan ada juga
yang bersubjek jamak.
·
Bersubjek tunggal: ia berpandangan dengan ibunya
·
Bersubjek jamak: mereka berbantah, mobil bertabrakan, perusuh
baku pukul
Klausa verbal pasif adalah klausa yang menunjukkan bahwa
subjek dikenai pekerjaan atau sasaran perbuatan seperti yang disebutkan dalam
predikat verbalnya. Verba yang menjadi predikatnya berimbuhan di-, ter-, atau ber-, ke-/-an atau diawali oleh kata kena.
·
Dikenai pekerjaan, seperti kakak bercukur, korban tertembak, korban
ditembak, kami kehujanan
·
Dikenai sasaran perbuatan,
seperti melarikan diri, memperkaya diri
Klausa verbal aktif tak transitif adalah klausa yang
predikat verbalnya tidak mempunyai sasaran dan tidak mempunyai objek.
Contohnya:
·
Kelakuannya menjadi-jadi
·
Pengetahuan kita bertambah
·
Para nelayan bersatu
b.
Klausa Nonverbal
Klausa nonverbal adalah klausa yang predikatnya berupa
nomina, pronomina, adjektiva, numeralia, atau frasa preposisional, seperti:
·
Saya ke bandung
·
Ayahku guru
·
Dia sedang sakit
Klausa ekuatif adalah klausa nonverbal yang predikatnya
menggunakan adalah atau merupakan, seperti:
·
Menjaga kebersihan kelas merupakan tugas kita bersama.
·
Yang kuinginkan adalah hidup tenang dan damai.
Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri
sendiri, yang sekurang-kurangnya memiliki sebuah subjek dan predikat, mempunyai
intonasi final (kalimat lisan), dan secara aktual ataupun potensial terdiri
atas klausa. Dapat dikatakan bahwa kalimat membicarakan hubungan antara sebuah
klausa dan klausa yang lain.
Menurut bentuknya, kalimat dibedakkan menjadi kalimat
tunggal, kalimat tunggal dan perluasannya, serta kalimat majemuk. Kalimat
majemuk dibedakan menjadi kalimat majemuk setara, kaliamt majemuk bertingkat,
dan kalimat majemuk campuran.
1. Kalimat Menurut Bentuk
a.
Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang mempunyai satu
subjek dan satu predikat. Dengan demikian, semua kalimat dasar adalah juga
kalimat tunggal. Kalimat tunggal dapat diperoleh dari beberapa segi.
·
Kalimat tunggal adalah kalimat
dasar murni.
Contoh: Rupiah menguat.
·
Kalimat tunggal adalah kalimat
dasar yang diperluas dengan berbagai keterangan.
Contoh: Wisatawan asing berkunjung ke Indonesia.
·
Kalimat tunggal adalah kalimat
dasar yang berubah susunannya.
Contoh: Berdiri aku di senja senyap.
Dalam bahasa Indonesia terdapat enam pola kalimat,
yaitu:
·
Subjek (KB) + Predikat (KK): Pakar politik berdiskusi.
·
Subjek (KB) + Predikat (KK) +
Objek (KB): Mahasiswa mengikuti ujian.
·
Subjek (KB) + Predikat (KK) +
Objek (KB) + Pelengkap (KB): Dosen
membawakan saya buku bahasa Indonesia.
·
Subjek (KB) + Predikat (KS): Harga kertas mahal.
·
Subjek (KB) + Predikat (K.
Bil): Komputernya dua buah.
·
Subjek (KB) + Predikat (KB): Temanku guru SMU 1.
Untuk menciptakan beragam kalimat tunggal, enam pola
dasar di atas dapat diperluas unsur-unsurnya.
·
Pola 1 adalah pola kalimat yang
hanya mengandung unsur subjek nomina dan unsur predikat verba. Contoh : Kami berjuang.
·
Pola 2 adalah pola kalimat yang
bersubjekkan nomina, berpredikat verba, dan berobjekkan nomina. Contoh: Kami mencairkan dana.
·
Pola 3 adalah pola kalimat yang
bersubjekkan nomina, berpredikat verba, berobjek nomina, dan berpelengkap
nomina. Contoh: Surat kabar memberikan
saya kepintaran.
·
Pola 4 adalah pola kalimat yang
bersubjekkan nomina dan yang berpredikat adjektiva. Contoh: Suku bunga bank sangat tinggi.
·
Pola 5 adalah pola kalimat yang
bersubjekkan nomina dan yang berpredikat numeralia. Contoh: Panjang mobil itu empat meter.
·
Pola 6 adalah pola kalimat yang
bersubjekkan nomina dan yang berpredikatkan nomina. Contoh: Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia itu seorang peneliti.
b.
Perluasan Kalimat Tunggal
Keenam pola kalimat dasar itu dapat dapat diperluas
dengan unsur keterangan.
·
Keterangan tempat, seperti di sini, ke Solo, dan sekitar kota.
·
Keterangan waktu, seperti setiap tahun, pada pukul 14.00 WIB, dan minggu ketiga.
·
Keterangan alat, seperti dengan pensil, dengan keris, dan dengan kertas tebal.
·
Keterangan modalitas, seperti harus, barangkali, mungkin, sering,
sepatutnya.
·
Keterangan aspek, seperti akan, sedang, sudah, belum, telah, dan mau.
·
Keterangan cara, seperti dengan berhati-hati, seenaknya saja, selekas
mungkin, secara sepihak, dan dengan
tergesa-gesa.
·
Keterangan sebab, seperti sebab, karena, lantaran.
·
Keterangan tujuan, seperti untuk, demi, guna, supaya, agar, demi, ke.
·
Keterangan akibat, seperti akibatnya, akhirnya, sehingga, maka.
·
Keterangan pewatas, seperti yang luka, yang berdemonstrasi, yang pendek,
dan yang peneliti.
·
Keterangan tambahan (aposisi),
sepperti Kak Adi pada kalimat Penulis buku cerita anak-anak, Kak Adi,
menyanyikan lagu daerah.
Setiap unsur dalam kalimat dapat diperluas dengan
mempergunakan beberapa keterangan.
Contoh: Presiden memerhatikan
kepentingan masyarakat.
Dapat diperluas menjadi: Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, memerhatikan kepentingan
masyarakat.
c.
Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas lebih
dari satu proposisi sehingga mempunyai paling tidak dua predikat yang tidak
dapat dijadikan satu kesatuan (Hasan Alwi dkk, 2003: 40).
·
Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang
terdiri atas dua kalimat tunggal atau lebih yang digabungkan dengan kata
penghubung yang menunjukkan kesetaraan, seperti dan, atau, sedangkan, dan tetapi.
Contoh: Ayahnya pergi dan dia
pun menangis.
·
Kalimat Majemuk Bertingkat
(Taksetara)
Kalimat majemuk bertingkat terdiri atas unsur anak kalimat dan unsur induk kalimat. Induk kalimat merupakan
inti gagasan, sedangkan anaka kalimat adalah gagasan yang dipertalikan dengan
gagasan induk kalimat.
Contoh: Apabila ingin melihat
Taman Mini Indodonesia Indah, tentu kamu harus datang ke Jakarta.
Anak kalimatnya adalah Apabila ingin meihat Taman Mini Indonesia Indah; induk kalimat
adalah kamu harus datang ke Jakarta.
·
Kalimat Majemuk Taksetara
Rapatan
Kalimat majemuk taksetara dapat juga dirapatkan jika
terdapat unsur subjek sama.
Contoh: Mereka sudah
menyelesaikan tugas.
Mereka boleh
mengambil tanda terima.
Kedua kalimat tunggal di atas dapat dijadikan kalimat
majemuk taksetara rapatan, karena memiliki subjek yang sama.
Karena sudah menyelesaikan
tugas, mereka boleh mengambil tanda terima.
·
Kalimat Majemuk Campuran
Kalimat majemuk campuran terdiri atas kalimat majemuk
bertingkat dan kalimat majemuk setara, atau terdiri atas kalimat majemuk setara
dan kalimat majemuk bertingkat.
Contoh: Karena pembicaraan
mengeni pemecahan atom belum rampung, kami terpaksa bekerja sampai malam dan
melakukan pembagian kerja dengan lebih baik lagi.
2. Kalimat Menurut Fungsi
a)
Kalimat Pernyataan (Deklaratif)
Kalimat
pernyataan dipakai jika penulis ingin menyatakan sesuatu dengan lengkap.
Contoh: Para peneliti memperlihatkan alur
perkembangan kehidupan ulat.
b)
Kalimat Pertanyaan
(Interogatif)
Kalimat
pertanyaan dipaki jika penulis ingin memperoleh informasi atau reaksi (jawaban)
yang diharapkan.
Contoh: Di mana mereka melakukan latihan?
c)
Kalimat Perintah atau
Permintaan (Imperatif)
Kalimat
perintah dipakai jika penutur ingin menyuruh atau melarang orang melakukan
(berbuat) sesuatu.
Contoh: Dilarang merokok di ruangan ini!
d)
Kalimat Seruan
Kalimat
seruan dipakai jika penutur ingin mengungkapkan perasaan yang kuat atau yang
mendadak.
Contoh: Bukan main sulitnya
soal itu.
D.
WACANA
1.
Pengertian wacana
Analisis wacana menginterprestasi makna sebuah
ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks menentukan makna ujaran.
Konteks meliputi konteks linguistik dan konteks etnografii. Konteks linguistik
berupa rangkaian kata-kata yang mendahului atau yang mengikuti sedangkan
konteks etnografi berbentuk serangkaian ciri faktor etnografi yang
melingkupinya, misalnya faktor budaya masyarakat pemakai bahasa.
Manfaat melakukan kegiatan analisis wacana
adalah memahami hakikat bahasa, memahami proses belajar bahasa dan perilaku
berbahasa. Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat
berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis
dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi
secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa
dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai
hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari
wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian
yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik
dalam bentuk tulis maupun lisan.
2.
Persyaratan Terbentuknya Wacana
Penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian
kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau
ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus
mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan
kepaduan (coherent). Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam
wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana
dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara teratur dan
sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
3.
Struktur Wacana Bahasa Indonesia
a)
Elemen-elemen
Wacana
Elemen-elemen
wacana adalah unsur-unsur pembentuk teks wacana. Elemen-elemen itu tertata
secara sistematis dan hierarkis. Berdasarkan nilai informasinya ada elemen inti
dan elemen luar inti. Elemen inti adalah elemen yang berisi informasi utama,
informasi yang paling penting. Elemen luar inti adalah elemen yang berisi
informasi tambahan, informasi yang tidak sepenting informasi utama.
Berdasarkan sifat kehadirannya, elemen wacana terbagi menjadi dua kategori,
yakni elemen wajib dan elemen manasuka. Elemen wajib bersifat wajib hadir,
sedangkan elemen manasuka bersifat boleh hadir dan boleh juga tidak hadir
bergantung pada kebutuhan komunikasi.
b)
Relasi
Antarelemen dalam Wacana
Ada berbagai
relasi antarelemen dalam wacana. Relasi koordinatif adalah relasi antarelemen
yang memiliki kedudukan setara. Relasi subordinatif adalah relasi antarelemen
yang kedudukannya tidak setara. Dalam relasi subordinatif itu terdapat atasan
dan elemen bawahan. Relasi atribut adalah relasi antara elemen inti dengan
atribut. Relasi atribut berkaitan dengan relasi subordinatif karena relasi
atribut juga berarti relasi antara elemen atasan dengan elemen bawahan. Relasi komplementatif adalah relasi antarelemen yang bersifat
saling melengkapi. Dalam relasi itu, masing-masing elemen memiliki kedudukan
yang otonom dalam membentuk teks. Dalam jenis ini tidak ada elemen atasan dan
bawahan.
c)
Struktur
Wacana Bahasa Indonesia
Struktur wacana
adalah bangun konstruksi wacana, yakni organisasi elemen-elemen wacana dalam
membentuk wacana. Struktur wacana dapat diperikan berdasarkan peringkat
keutamaan atau pentingnya informasi dan pola pertukaran. Berdasarkan peringkat
keutamaan informasi ada wacana yang mengikuti pola segitiga tegak dan ada
wacana yang mengikuti pola segitiga terbalik. Berdasarkan mekanisme pertukaran
dapat dikemukakan pola-pola pertukaran berikut: (1) P-S, (2) T-J, (3) P-T, (4)
T-T, (5) Pr-S, dan (6) Pr-T.
4.
Referensi dan Inferensi Serta Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa
Indonesia
a) Referensi dan Inferensi Wacana Bahasa
Indonesia
Referensi dalam
analisis wacana lebih luas dari telaah referensi dalam kajian sintaksis dan
semantik. Istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan
yang dipakai seorang pembicara/penulis untuk mengacu pada suatu hal yang
dibicarakan, baik dalam konteks linguistik maupun dalam konteks nonlinguistik.
Dalam menafsirkan acuan perlu diperhatikan, (a) adanya acuan yang bergeser, (b)
ungkapan berbeda tetapi acuannya sama, dan (c) ungkapan yang sama mengacu pada
hal yang berbeda.
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan
ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu
dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna
tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
b) Kohesi dan Koherensi Wacana Bahasa Indonesia
Istilah kohesi
mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh
penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur
pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting
dari kohesi. Namun bukan berarti kohesi tidak penting, Jenis alat kohesi ada
tiga, yaitu substitusi, konjungsi, dan leksikal.
Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian
dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara
lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan
hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan
dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan
subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara
beruntun.
5.
Jenis-Jenis Wacana Bahasa Indonesia
Berdasarkan jumlah
peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana,
yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Bila dalam suatu komunikasi hanya
ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka
wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak
berganti peran sebagai pendengar. Bila peserta dalam komunikasi itu dua orang
dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau
sebaliknya), maka wacana yang dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam
komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, maka wacana yang
dihasilkan disebut polilog.
a) Prinsip Interpretasi Lokal dan Prinsip
Analisis
Dalam analisis
wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan prinsip
analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi berdasarkan
konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks nonlinguistik.
Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya berupa tempat,
tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan partisipan. Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu
wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai. Dengan
interpretasi analogi itu, analis sudah dapat memahami wacana dengan konteks
yang relevan saja. Hal itu berarti bahwa analis tidak harus memperhitungkan
semua konteks wancana.
b) Skemata dalam Analisis Wacana
Skemata adalah
pengetahuan yang terkemas secara sistematis dalam ingatan manusia. Skemata itu
memiliki struktur pengendalian, yakni cara pengaktifan skemata sesuai dengan
kebutuhan. Ada dua cara yang disebut pengaktifan dalam struktur itu, yakni (1)
cara pengaktifan dari atas ke bawah dan (2) cara pengaktifan dari bawah ke
atas. Pengaktifan atas ke bawah adalah proses pengendalian skemata dari konsep
ke data atau dari keutuhan ke bagian. Pengaktifan bawah ke atas adalah proses
pengendalian skemata dari data ke konsep atau dari bagian ke keutuhan.
Skemata berfungsi baik bagi pembaca/pendengar
wacana maupun bagi analis wacana. Bagi pendengar/pembaca, skemata berfungsi
untuk memahami wacana. Bagi analis wacana, di samping berfungsi untuk memahami
wacana, skemata juga berfungsi untuk melakukan analisis berbagai aspek wacana:
elemen wacana, struktur wacana, acuan kewacanaan, koherensi dan kohesi wacana,
dan lain-lain.
Kegagalan pemahaman wacana terjadi karena tiga
kemungkinan. Pertama, pendengar/pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang
sesuai dengan teks yang dihadapinya. Kedua, pendengar/pembaca mungkin sudah
mempunyai skemata yang sesuai, tetapi petunjuk-petunjuk yang disajikan oleb
penulis tidak cukup memberikan saran tentang skemata yang dibutuhkan. Ketiga,
pembaca, mungkin mendapatkan penafsiran wacana secara tetap sehingga gagal
memahami maksud penutur.
E. SEMANTIK
Menurut
Chomsky pada bukunya yang kedua (1965) menyatakan bahwa semantik adalah
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah
sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen
semantik.
1.
Hakikat Makna
Pengertian
atau makna yang dimiliki setiap morfem, baik yang disebut morfem dasar atau
morfem afiks. Mengingat bahasa itu bersifat arbitrer (bebas, tidak terikat)
maka hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbitrer. Di dalam penggunaannya
dalam pertuturan nyata makna kata atau leksem itu seringkali dan mungkin juga
biasanya terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya. Oleh
karena itu, banyak pakar bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata
apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya.
2.
Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
-Makna Leksikal:
makna yang dimiliki atau pada leksem / kata meski tampak tanpa konteks apapun
atau makna yang
sebenarnya.
-Makna Gramatikal :
baru ada kalau terjadi proses gramatikal. Contoh : prefiks ber-
-Makna Kontkestual
: makna sebuah kata atau leksem yang berada didalam satu kompleks. (berkenaan
dengan situasinya).
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Makna referensial
bisa terjadi jika kalau ada referensinya atau acuannya dalam dunia nyata
begitupun sebaliknya.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
-Makna Denotatif :
makna asli, makna asal, akna sebenarnya yang dimilikioleh sebuah kata atau
leksem.
-Makna Konotatif :
makna lain yang ditambahkan atau makna kiasan.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
-Makna Konseptual :
makna yang dimiliki oleh sebuah kata terlepas dari konteks atau asosiasi
apapun. Makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal,
makna denotatif dan
makna referensial.
-Makna Asosiasi :
makna lain yang ditambahkan atau makna kiasan.
e. Makna kata dan Makna Istilah
Makna kata
masih bersifat umum, kasar dan tidak jelas, baru menjadi jelas jika suatu kata
itu sudah berada dalam konteks kalimatnya / atau konteks situasinya. Sedangkan
makna istilah mempuyai makna yang pasti, jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa
konteks kalimat. Sehingga sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks
sedangkan makna kata tidak bebas konteks. Lebih lagi istilah hanya digunakan pada
bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
f. Makna Idiom dan Peribahasa
-Idiom adalah
satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya,
baik secara leksikal maupun gramatikal. Idiom dibagi menjadi dua, yaitu :1)
Idiom penuh : idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu
kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Contoh
: membanting tulang, meja hijau; 2) Idiom sebagian : idiom yang salah satu
unsurnya masih memiliki makna leksikal sindiri. Contoh : buku putih, terdiri
dari dua makna, yakni buku dan putih.
-Peribahasa : idiom
yang memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna
unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan maknanya.
3.
Relasi Makna
Relasi
makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan
satuan bahasa yang lain. Masalah-masalah yang dibicarakan pada relasi makna :
a) Sinonim : hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Contoh : benar =
betul.
Faktor
ketidaksamaan dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis
adalah :
a. Faktor waktu, contoh : hulubalang dan komandan
b. Faktor tempat, contoh : saya dan beta
c. Faktor keformalan, contoh : uang dan duit
d. Faktor sosial, contoh : saya dan aku
e. Faktor bidang kegiatan, contoh : matahari dan surya
f. Faktor nuansa makna, contoh : melihat, melirik,
menonton
b) Antonim : hubungan semantik dua buah satuan ujaran yang
maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan dengan ujaran yang lain. Contoh :
hidup-mati Jenis antonim :
a. Antonim yang bersifat mutlak, contoh : diam-bergerak
b. Antonim yang bersifat relatif / bergradasi, contoh :
jauh-dekat
c. Antonim yang bersifat relasional, contoh : suami-istri
d. Antonim yang bersifat hierarkial, contoh : tamtama-bintara
c)
Polisemi
Adalah kata
yang mempunyai makna lebih dari satu. Contoh : kata kepala : kepala yang berarti
bagian tubuh yang bagian atas dengan kepala yang menyatakan pimpinan
d)
Homonim
Adalah dua
kata kebetulan bentuk, ucapan, tulisannya sama tetapi beda makna.
Contoh : Bisa : bisa yang berarti racun dengan bisa yang berarti dapat atau mampu.
e)
Homofon
Adalah dua
kata yang mempunyai kesamaan bunyi tanpa memperhatikan ejaanya, dengan makna
yang berbeda. Contoh : Bang : sebutan
saudara laki-laki dengan Bank :
tempat penyimpanan dan pengkreditan uang
f)
Homograf
Adalah dua
kata yang memiliki ejaan sama, tetapi ucapan dan maknanya beda. Contoh : apel :
buah dengan apél : rapat, pertemuan.
g)
Hiponim
Adalah
sebuah bentuk ujaran yang mencakup dalam makna bentuk ujaran lain.
Hipernim adalah bagian dari hiponim. Contoh : Hiponim : buah-buahan. Hipernim
dari buah-buahan misalnya anggur.
h) Ambiguiti / Ketaksaan adalah gejala yang terjadi akibat kegandaan makna
akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tergantung jeda dalam kalimat.
i) Redundansi adalah berlebih-lebihannya penggunaan unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran
4.
Perubahan Makna
Ada 5
faktor yang menyebabkan makna sebuah kata berubah :
1.
Perkembangan IPTEK
2. Perkembangan
sosial budaya
3.
Perkembangan pemahaman kata
4.
Pertukaran tanggapan indera
5. Adanya
asosiasi
5.
Medan Makna dan Komponen Makna
a) Medan Makna (semantik domain, semantic field atau
semantic leksikal) adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling
berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang dari kebudayaan / realitas
dalam alam semesta tertentu. Misal : nama-nama warna, nama-nama perkerabatan.
b) Komponen Makna adalah makna yang dimiliki oleh setiap
kata terdiri dari sejumlah komponen yang membentuk keseluruhan makna.
Dalam
menentukkan komponen makna yang diperlukan analisis komponen makna, manfaat
dari analisis ini adalah :
1. Mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim.
2. Membuat prediksi makna-makna gramatikal afiksasi, reduplikasi
dan komposisi dalam bahasa Indonesia.
3. Meramalkan makna gramatikal.
F. SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK
·
Linguistik
Tradisional
Berikut ini akan
dijelaskan bagaimana terbentuknya tata bahasa tradisional dari zaman per zaman,
mulai zaman Yunani sampai masa menjelang munculnya linguistik modern di sekitar
akhir abad ke-19.
1. Liguistik Zaman
Yunani
Masalah
pokok kebahasaan yang menjadi pertentangan para linguis waktu itu adalah
pertentangan antara fisis dan nomos, dan pertentangan antara analogi
dan anomaly. Para filsuf Yunani mempertanyakan, apakah bahasa itu
bersifat alami (fisis) atau bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami maksudnya
bahasa itu mempunyai asal – usul, sumber dalam prinsip – prinsip abadi dan
tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri. Bahasa bersifat konvensi
maksudnya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi atau
kebiasaan yang mempunyai kemungkinan bisa berubah. Pertentangan analogi dan
anomali menyangkut masalah bahasa itu sesuatu yang teratur dan tidak teratur.
Kaum analogi antara lain, Plato dan Aristoteles, berpendapar bahwa bahasa itu
bersifat teratur, karena itulah orang dapat menyusun tata bahasa.
Sebaliknya,
kelompok anomaly berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Dari studi bahasa
pada zaman Yunani ini kita mengenal nama beberapa kaum atau tokoh yang
mempunyai peranan besar dalam studi bahas ini.
a. Kaum
Sophis
b. Plato
(429 – 347 S.M.)
c.
Aristoteles ( 384 – 322 S.M. )
d. Kaum
Stoik
e. Kaum
Alexandrian
2. Zaman Romawi
Studi
bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap kelanjutan dari zaman Yunani. Tokoh
pada zaman Romawi yang terkenal, antara lain, Varro ( 116 – 27 S.M. ) dengan
karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones
Grammaticae.Varro dan De Lingua Latina, dalam buku De
Lingua Latina masih juga memperdbatkan masalah analogi dan anomali seperti
pada zaman Stoik di Yunani. Buku ini dibagi dalam bidang-bidang etimologi dan
morfologi..
a) Etimologi,
adalah cabang Linguistik yang menyelidiki asal-usul kata beserta artinya.
b) Morfologi,
adalah cabang linguistic yang mempelajari kata dan pembentukannya.
Mengenai
deklinasi, yaitu perubahan bentuk kata, Varro membedakan adanya 2 macam
deklinasi, yaitu deklinasi naturalis dan deklinasi voluntaris.
a) Deklinasi
naturalis, adalah perubahan yang bersifa alamiah, sebab perubahan itu dengan
sendirinya dan sudah berpola.
b) Deklinasi
voluntaris, adalah perubahan yang terjadi secara morfologis, bersifat
selektif dan
manasuka.
3. Zaman
Pertengahan
Dari zaman pertengahan
ini yang patut dibicarakan dalam studi bahasa antara lain
a)
Kaum Modistae,masih
membicarakan pertentangan antara fisis dan nomos dan pertentangan antara
analogi dan anomaly.
b)
Tata Bahasa
Spekulstiva, merupakan hasil integrasi deskripsi gramatikal bahasa latin ke
dalam filsafat skolastik.
c) Petrus Hispanus,
bukunya berjudul Summulae Logicales.
4. Zaman Renaisans
Dianggap
sebagai pembukaan abad pemikiran abad modern. Ada 2 hal yang perlu dicatat :
(1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana – sarjana pada waktu itu juga menguasai
bahasa Yunani, bahasa Ibrani dan bahasa Arab. (2) Selain bahasa Yunani, Latin,
Ibrani dan Arab, bahasa –bahasa Eropa lainnya juga mendapat perhatian dalam bentuk
pembahasan, penyusunan tata bahasa, dan malah j8ga perbandingan.
5. Menjelang
Lahirnya Linguistik Modern
Ferdinand
de Saussure dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Masa antara lahirnya
Linguistik Modern dengan masa berakhirnya zaman renainsans ada satu tonggak yang
sangat penting dalam sejarah studi bahasa. Mengenai Linguistik tradisional di
atas, maka scara singkat dapat dikatakan, bahwa : a) Pada tata bahasa
tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran dengan
bahasa tulisan; b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil
patokanpatokan dari bahasa lain; c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara preskriptif,
yakni benar atau salah; d) Persoalan kebahasaan sering kali dideskripsikan dengan
melibatkan logika; e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung
untuk selalu dipertahankan.
·
Linguistik
Strukturalis
1. Ferdinand de
Saussure
Dianggap
sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat
dalam bukunya Course de Linguistique Generale. Buku tersebut sudah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa. Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai
konsep :
a) Telaah sinkronik
dan diakronik.
b) La Langue dan
La Parole.
c) Signifiant dan
Signifie.
d) Hubungan
Sintagmatik dan Paradigmatik.
2. Aliran Praha
Aliran
Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah sorang tokohnya, yaitu
Vilem mathesius (1882-1945).Dalam bidang Fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama
membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Aliran Praha ini juga memperkenalkan
dan mengembangkan suatu istilah yang disebut morfonologi, bidang yang meneliti
struktur fonologis morfem. Dalam bidang sintaksis, Vilem Mathesius mencoba
menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat
dapat dilihat dari struktur formalnya dan juga dari stuktur informasinya yang terdapat
dalam kalimat yang bersangkutan. Struktur informasi menyangkut unsure tema dan
rema. Tema adalah apa yang dibicarakan, sedangkan rema adalah apa yang
dikatakan mengenai tema.
3. Aliran
Glosematik
Aliran
Glosematik lahir di Denmark. Tokohnya, antara lain, Louis Hjemslef (1899-1965),
yang meneruskan ajaran Ferdinand de Sausure. Menurut Hjemslev teori bahasa
haruslah bersifat sembarang saja, artinya harus merupakan suatu system deduktif
semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara tersendiri untuk dapat memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari premis-premisnya. Hjemslev menganggap
bahasa itu mengandung dua segi, yaitu segi ekspresi dan segi isi.
4. Aliran Firthian
Nama John
R. firth (1890-1960) guru besar pada Universitas London sangat terkenal karena
teorinya mengenai fonologi prosodi. Fonologi Prosodi adalah suatu cara untuk
menentukan arti pada tataran fonetis. Ada tiga macam pokok prosodi:
a) Prosodi yang
menyangkut gabungan fonem,
b) Prosodi yang terbentuk
oleh sendi atau jeda,
c) Prosodiyang
realisasi fonetinya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem – fonem
suprasegmental. Firth juga terkenal dengan pandangannya mengenai bahasa. Firth
berpendapat bahwabahasa harus memperhatikan komponen sosiologis.
5. Linguistik
Sistemik
Nama aliran
linguistic sistemik tidak dapat dilepaskan dari nama M.A.K. Halliday. Pokok-pokok
pandangan sistemik linguistik adalah:
a. LS
memberikan perhatian penuh pada segi kemasyrakatan bahasa.
b. LS
memandang bahasa sebagai pelaksana
c. LS lebuh mengutamakan pemerian cirri-ciri bahasa
tertentu beserta fariasi-fariasi
d. LS mengenal
adanyagradasi atau kontinum.
e. LS
menggambarkan tiga tataran utama bahasa sebagai berikut :
6. Leonard
Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Aliran ini
berkembang pesat di Amerikapada tahun tiga puluhan dan lima puluhan. Faktor
yang menyebabkan :
a. Pada masa itu linguis di Amerika menghadapi masalah
yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian yang belum diperikan.
b. Sikap Bloomfield yang menolak mentalistik sejalan
dengan iklim fisafat yang berkembang pada masa itu di amerika, yaitu filsafat
behaviorisme.
c. Diantara linguis-linguis itu ada hubungan yang baik.
Aliran
strukturalis yang dikembangkan bloomfield dengan para pengikutnya sering juga
disebut aliran taksonomi, dan aliran Bloomfieldian atau post-Bloomfieldian. Karena
bermula atau bersumber pada gagasan Bloomfield. Disebut aliran taksonomi karena
aliran ini menganalisis dan mengklasifikasi unsure-unsur bahasa berdasarkan hubungan
hirarkinya.
7. Aliran Tagmemik
Menurut
aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem. Yang dimaksud dengan
Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk
kata yang dapat saling dipertukarakn untuk mengisi slot tersebut. Satuan dasar
sintaksis itu, yaitu tagmem, merupakan suatu system sel-empat-kisi, yang dapat
digambarkan sebagai bagian berikut : Fungsi, Kategori, Peran, Kohesi.
·
Linguistik
Transformasional dan Aliran Sesudahnya
1. Tata Bahasa Transformasi
Dalam buku
Noam Chomsky yang berjudul Syntatic Structure pada tahun 1957, dan dalam buku
Chomsky yang kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun
1965. mengembangkan model tata bahasa yaitu transformational generative grammar,
dalam bahasa Indonesia dsebut tata bahasa transformasi atau bahasa generatif. Tujuan
penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut.
Bahasa dapat dianggap sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi
yang mempunyai makna maka haruslah dapat menggambarkan bunyi dan arti dalam
bentuk kaidah – kaidah yang tepat dan jelas. Syarat untuk memenuhi teori dari
bahasa dan tata bahasa yaitu :
a. Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus
dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan
tidak dibuat-buat.
b. Tata bahasa tersebut terus berbentuk sedemikian rupa,
sehingga satuan atau istilah tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja
dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Konsep language dan parole dari Ferdinand de sausure, Chomsky membedakan adanya kemampuan
(kompeten) dan perbuatan berbahasa (performance).
Jadi objeknya adalah kemampuan. Seorang peneliti bahasa harus mampu
menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak
terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, barangkali, belum pernag didengarnya
atau dilihatnya. Kemampuan membuat kalimat – kalimat baru disebut aspek kreatif
bahasa Dalam buku Tata Bahasa Transformasi lahur bersamaan dengan terbitnya
buku “Syntatic Structure tahun” 1957.
Buku ini sering disebut “ Tata Bahasa Transformasi Klasik“. Kemudian disusul Aspect of the theory of syntax dalam
buku ini Chomsky menyempurnakan teorinya mengenai sintaksis dengan mengadakan
beberapa perubahan yang prinsipil. Tahun 1965 dikenal dengan standar teori,
kemudian tahun 1972 diberi nama Extended
Standard Theory, tahun 1975 diberi nama Revised
Extended Standard Theory. Terakhir buku ini direvisi dengan nama Government
and Binding Theory.
Dari kesimpulan
tersebut terdiri dari 3 komponen :
a. komponen sintetik
b. komponen semantik
c. komponen fologis
2. Semantik
Generatif
Menurut
semantik generatf, sudah seharusnya semantic dan sintaksis diselidiki bersama
sekaligus karena keduanya adalah satu. Struktur semantic itu serupa dengan struktur
logika. Struktur logika itu tergambar sebagai berikut : Proposisi Predikat
Argumen 1 Argumen 2. Menurut teori semantik generatif, argument adalah segala
dssesuatu yang dibicarakan; sedangkan predikat itu semua yang menunjukan
hubungan, perbuatan, sifat , keanggotaan, dan sebagainya.
3. Tata Bahasa
Kasus
Tata bahasa kasus
diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore. Fillmore membagi kalimat atas :
a.
Modalitas, yang berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia.
b.
Proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.
4. Tata Bahasa
Relasional
Sama halnya
dengan tata bahasa transformasi, tata bahasa relasional juga berusaha mencari
kaidah kesemestaan bahasa. Dalam hal ini tata bahasa relasional banyak menyerang
tata bahasa transformasi, karena menganggap teori-teori tata bahasa transformasi
tidak dapat diterapkan pada bahasa-bahasa lain selain bahasa inggis.
2. LINGUISTIK MAKRO
A. PSIKOLINGUISTIK
1.
Keterkaitan Antara Bahasa dan Pikiran
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses
memproduksi dan memahami ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik
adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan
bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain,
dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan
mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses
pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis
kode.
Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu
yang diproses baik berupa bahasa lisan maupun
bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh
Kempen dalam Marat (1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai
manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa
yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap
ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri
melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan
dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini
berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis.
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk
berkomunikasi. Karena itu, Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan bahwa psycholinguistics
is the study of relations between our needs for expression and communications
and the means offered to us by a language learned in one’s childhood and later ‘psikolinguistik
adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk
berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita
melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya.
Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam
kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah
bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki
orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia.
Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan
berkata.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia
ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa,
sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami
yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau
memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup
Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian
bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan
prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini
Yudibrata, (1998: 9) menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi
pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh
pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir,
hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan
kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan
bahasa).
Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai
organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik
kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara
reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis)
melibatkan ketiga ranah tadi.
Neisser dalam Syah (2004:22) mengatakan bahwa istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya knowing
berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition
(kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan
Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang
menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis
manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan
keyakinan.
Menurut Chaplin dalam Syah (2004:22) mengemukakan bahwa ranah
ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi
(perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa. Ranah kognitif yang berpusat di
otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus
pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah
psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22) mengemukakan bahwa tanpa
ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan
berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah
materi-materi yang disajikan kepadanya.
Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena
perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu
terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah
psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik
kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004: 52).
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara
bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi
pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan
pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang
banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan
pikiran.
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang
memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama.
Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan
pikiran.
Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis
yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan
perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa
menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan
bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia
perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori
dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui
habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon.
Whorf mengatakan “grammatical and lexical
resources of individual languages heavily constrain the conceptual
representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam
sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna
bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek
yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi
kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir,
seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :
“Kita
membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan
tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua
fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia
mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang
dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di
pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah
unsur-unsur yang penting.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan
pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup
dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang
biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu
yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama
untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat
dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik
yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag
dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang
dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti
yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang
menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat,
1999).
2.
Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran
Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam
kalimat yang kompleks pula. Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam
mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan pemikiran yang kompleks. Kompleksitas
makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena dalam kalimat tersebut
terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan
proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi
pelengkap untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang
selama setiap akhir dari kalimat tersebut adalah nomina.
Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain,
salah satu penyebabnya adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik,
hal ini terbagi menjadi dua, yakni netral (unmarked) dan tak netral (marked).
Seperti terlihat pada contoh berikut :
a.
UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9
fakultas.
b.
UNS mempunyai 70.000 mahasiswi.
Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata
mahasiswa mempunyai arti luas, yakni semua pelajar baik laki-laki dan
perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar perempuan saja, pada
makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah satu kelompok
jenis kelamin saja.
Dalam
sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan
lebih mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini:
a.
How tall is your daughter?
b.
How short is your daughter?
Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka
lebih mudah untuk menjawab pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a)
mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran psikolinguistik konsep netral (unmarked)
umumnya merujuk pada makna positif. Dalam bahasa Inggris, kata-kata netral
mempunyai sisi kebalikannya, misal happy menjadi unhappy. Sedangkan
pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita membuat sisi
positifnya.
3.
Gejala
Psikolinguistik Orang Marah.
Secara umum
psikologi seseorang berbeda-beda. Hal ini terlihat dari setiap gejala yang
dirunut misalnya pada saat seseorang marah. Kemarahan setiap orang tentunya
tidak bisa ditebak secara pasti, karena gejala yang diperlihatkan kadang kala
tidak sesuai dengan kenyatannya. Misalnya saja orang yang jengkel belum tentu
dia marah. Orang yang marah, terkadang bisa saja tenang bahkan malah tertawa. Ini
membuktikan bahwa setiap keadan jiwa seseorang berbeda-beda.
Di bawah ini akan diilustrasikan
mengenai gejala
psikolinguistik orang marah, adapun identitas dari subjek penelitian ini adalah
sebagai berikut. Contoh:
1. Nama : Ni Luh Ari Susanti
Alamat : Benda, Kec. Sirampog, Kab. Brebes.
Umur : 20 tahun
Jenis
Kelamin : Laki-laki
2. Nama : Kadek Asdinata
Alamat :
Benda, Kec. Sirampog, Kab. Brebes.
Umur : 19 tahun
Jenis
Kelamin : Laki-laki
Ilustrasi gejala psikolinguistik marah yang dapat
dirunut adalah sebagai berikut.
Ari Susanti yang akrab dipanggil
Arik adalah seorang mahasiswi di “X” jurusan Pendidikan Ekonomi. Arik mempunyai
seorang pacar yang bernama Kadek Herman Ariasta. Seperti biasa, sekitar pukul 7
malam Arik ditelepon pacarnya. Awalnya biasa-biasa saja, tetapi terdengar nada
suara Arik semakin lama semakin tinggi. Arik marah-marah kepada pacarnya dengan
berujar “Brengsek” beberapa kali. Setelah itu Arik membanting pintu
kamarnya. Selain itu terdengar pula suara barang pecah. Ia mengurung diri
sambil menangis. Ketika teman-teman lain mengetuk pintu dan memanggil Arik,
tidak ada jawaban. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Arik.
Jadi, kesimpulannya, gejala
yang dapat dirunut dari keadaan marah pada sampel pertama yaitu :
1. Diam,
tidak mau bicara dengan orang lain.
2. Memaki-maki atau melontarkan kata-kata kasar.
3. Membanting barang untuk melampiaskan kemarahan.
Kadek Asdinata adalah mahasiswa jurusan D3 Informatika
di undiksha. Kadek Asdinata memiliki sifat yang sangat emosional, cepat
tersinggung dan cepat marah. Suatu malam, Kadek menelepon ke rumah untuk
meminta uang karena uang saku yang diberikan oleh orang tuanya seminggu yang
lalu sudah habis. Ternyata, orang tuanya tidak memiliki uang dan mereka justru
ragu kepada kadek, takut kalau uang saku yang mereka berikan bigunakan untuk
hura-hura. Kadek marah-marah ditelepon dan dengan kasar membanting handphonenya
ke kasur. Mukanya merah, dan langsung memukul tembok. Ketika diajak berbicara,
ia hanya diam. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Asdinata, yang tidak jauh
berbeda dengan subjek pertama.
Jadi, kesimpulannya, gejala
yang dapat diruntut dari keadaan marah pada sampel kedua yaitu:.
1. Cemberut
2. Diam, tidak mau berbicara
3. Memukul pintu atau tembok
4.
Aspek Linguistik dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah
Kadang kala dalam keadaan marah seseorang masih saja bisa mengungkapkan
kesedihannya dengan berkata-kata sesuai dengan keinginannya entah disampaikan
dengan teman dekatnya, atau bahkan berbicara sendiri tanpa disadari. Hal
tersebut dikarenakan cara penyampaikan seseorang jika dalam keadaan marah
berbeda-beda mengingat karekteristik setiap orang pun berbeda-beda. Dibawah ini akan disajikan
aspek linguistik pada psikolinguistik marah yang diungkapkan melalui percakapan
sebagai berikut.
·
Pengamatan
yang dilakukan pada sampel yang pertama.
Dialog ilustrasi
di bawah ini sedang marah
sebagai berikut.
Arik: “Dek, nyen to Rina?”
Kadek: “timpal ajak dek magae.
Engken saying?
Arik: “dugasne maan pesu kone jak
Rina to, saja?”
Kadek: “DEk jak Rina Cuma matimpal
biasa.
Arik: “mun dek sing nu saying jak
rik orahin gen. dek selingkuh kan jumah?”
Kadek: “sing ada, saying!”
Arik: “da Boong, brengsek!!!”
Kata-kata
yang menunjukkan gejala marah adalah :
“Da boong, brengsek!!!” (kalimat tersebut diujarkan dengan nada yang
tinggi/membentak)
Ciri – ciri lingustik dari
psikolingustik marah sebagai berikut:
1. Bahasa
yang diujarkan kasar
2. Bahasa
yang diujarkan keras
Penggunaan bahasa dengan
intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Arik dalam keadaan
marah.
·
Pengamatan
yang dilakukan pada subjek yang kedua, yaitu Kadek
Asdinata
Dialog yang diamati pada saat
subjek ini sedang marah adalah sebagai berikut.
Kadek: “pak, titipin pis jak Eva, nah? Pis yange suba telah.”
Bapak: “anggon gena, dek? Dugasne kan ba baang?”
Kadek: “anggon mayah buku jak baju kelas.”
Bapak: “Seken to? Nyanan anggon dek ngawag-ngawag pise?”
Kadek: “Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak
padidi.”
Kata-kata
yang menunjukkan gejala marah adalah :
“Nah! Da ba kirimange pis. Terserah
lamun sing percaya ajak panak padidi.”
Ciri –
ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut
1. Bahasa
yang diujarkan kasar
2. Bahasa
yang diujarkan menggunakan intonasi yang tinggi
3. Bahasa
yang diujarkan terdengar sinis
Penggunaan bahasa dengan
intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Ari dalam keadaan
marah. Ketika dimintai maaf oleh temannya, jawaban yang diberikan oleh Ari
sangat sinis. Hal tersebut juga dengan jelas bahwa Ari memperlihatkan gejala
orang yang sedang marah.
5.
Aspek Pikiran dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah
Dalam melakukan sesuatu atau mengungkapkan suatu ide pokok tentunya
dipengaruhi oleh proses kognitif. Di dalam pikiran, seseorang akan memiliki
suatu keinginan untuk bisa menyampaikan perasaan mereka entah itu dengan
memperlihatkan tingkah laku ataupun berujar. Dari hasil observasi yang
dilakukan, aspek kognitif yang dapat dicermati yaitu sebagai berikut.
1. Aspek
pikiran yang mempengaruhi Arik marah yaitu Arik menduga
pacarnya yang berada di Denpasar sudah tidak setia lagi, sehingga pacarnya
selingkuh. Arik merasa kecewa dan dikhianati oleh pacarnya.
2. Aspek
pikiran yang mempengaruhi Kadek Asdinata marah adalah alasan
Kadek yang menelepon ke rumah untuk meminta uang lagi tidak dipercayai oleh
orang tuanya. Kadek Asdinata merasa kecewa karena ia tidak dipercayai oleh
orang tuanya sendiri.
B.
SOSIOLINGUISTIK
Analisis
data dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah analisis struktur wacana
percakapan. Setelah melakukan analisis terhadap strukturnya baru dilanjutkan
dengan analisis secara sosiolinguistik. Analisis data ini adalah analisis
urutan dari transkrip percakapan yang akan menunjukkan apakah ada interpretasi
makna sosial dari ujaran atau percakapan. Apakah ada keberadaan budaya dari
etnis Jawa yang tergambar dari transkrip
percakapan tersebut. Transkrip yang telah dianalisis ini kemudian dihubungkan
dengan situasinya, apakah percakapan terjadi antarpedagang, antarapenjual serta
pembeli, dan untuk pembeli bisa dipilah lagi menjadi pelanggan-bukan pelanggan,
beretnis sama-berbeda etnis. Dari sini hipotesis penelitian tentang pilihan
kode, hubungan sosial antar anggota pasar, dapat dibentuk.
Analisis struktur wacana akan menjawab pertanyaan penelitian ini yaitu
pertanyaan pertama dan kedua. Berikut salah satu percakapan di pasar “X”.
Tabel 1.
Fungsi ujaran di pasar “X”
Giliran
|
Penutur
|
Ujaran
|
Fungsi ujaran
|
1
|
Pembeli
|
Bu, ada apel Fuji?
|
Pertanyaan
|
2
|
Penjual
|
Berapa yang?
|
Pertanyaan
|
3
|
B
|
Mau beli satu kilo.
|
Jawaban
|
4
|
B
|
Tapi bisa ditawar nggak Bu?
|
Pertanyaan
|
5
|
J
|
Ya
|
Konfirmasi
|
6
|
J
|
Berapa?
|
Bertanya
|
7
|
B
|
Sepuluh ribu bisa?
|
Bertanya
|
8
|
J
|
Ooo, nggak bisa yang,
|
Membantah/menolak
|
9
|
J
|
lima belas ribu.
|
Pernyataan
|
10
|
B
|
Oooo
|
Pernyataan
|
11
|
B
|
ya udah Bu, nggak jadi.
|
Menutup percakapan
|
12
|
J
|
Yoo
|
Konfirmasi
|
13
|
B2
|
Ibu, berapa?
|
Pertanyaan
|
14
|
J
|
Apa,anggur?
|
Pertanyaan
|
15
|
B2
|
Ya
|
Pertanyaan
|
16
|
B2
|
berapa?
|
Pertanyaan
|
12
|
J
|
Tigapuluh tiga ribu
|
Jawaban
|
13
|
B2
|
Nggak bisa kurang Bu?
|
Pertanyaan
|
14
|
J
|
Nggak bisa.
|
Jawaban
|
15
|
B2
|
Ooo
|
Menutup percakapan
|
16
|
J
|
Koe opo wae?
|
Pertanyaan
|
17
|
B3
|
Jeruk
|
Jawaban
|
18
|
J
|
Tiga ratus kali empat kali
empat puluh enam.
|
Pernyataan
|
19
|
J
|
apel Fuji satu ya?
|
Pertanyaan
|
20
|
J
|
tiga empat lima
|
Pernyataan
|
21
|
J
|
…Pir-e nggowo po ora?
|
Pertanyaan
|
22
|
B3
|
Sik, tak pikirne ndisik
|
Jawaban
|
23
|
J
|
Lebihnya banyak
|
Pernyataan
|
24
|
B3
|
Kurange, ngawur wae
|
Membantah
|
25
|
J
|
Lha wong iki luwih
|
Membantah
|
26
|
B3
|
Lambene pait
|
Bantahan
|
27
|
J
|
Yo, yo. Sing sabar
|
Penerimaan
|
28
|
B3
|
Alah yo ra nyampe lah
|
Bantahan
|
26
|
J
|
Go rene sing telung atus
|
Perintah
|
27
|
J
|
Wis?
|
Pertanyaan
|
28
|
J
|
Pir-e njalok patang kilo?
|
Pertanyaan
|
29
|
B3
|
Yo
|
Jawaban
|
30
|
B3
|
Pir-e njalok patang kilo
|
Pernyataan
|
31
|
J
|
Nek mu ngetung ki arep ke’ne mboe
|
Perintah
|
32
|
J
|
Pir-e patang kilo, beh, okeh tenan
|
Pernyataan
|
33
|
B3
|
Eleh-eleh, batine seneng
|
Pernyataan
|
34
|
J
|
Wong koq moto duiten.
|
Pernyataan
|
Pada dua percakapan awal, percakapan dimulai oleh pembeli
menggunakan bahasa Indonesia. Pada percakapan ketiga, penjual yang menginisiasi
percakapan. Fungsi yang muncul adalah Pertanyaan, Pernyataan, dan tawaran.
Berikut rekapitulasi jumlah fungsi ujaran dari masing-masing pihak.
Rekapitulasi Fungsi
Ujaran 1.Bukan Pelanggan
|
?
|
+
|
-
|
@
|
!
|
#
|
*
|
<
|
>
|
^
|
Penjual
|
2
|
1
|
1
|
1
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
Pembeli 1
|
3
|
1
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
Rekapitulasi Fungsi
Ujaran 2.Pelanggan
|
?
|
+
|
-
|
@
|
!
|
#
|
*
|
<
|
>
|
^
|
Penjual
|
5
|
0
|
0
|
5
|
2
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
Pembeli 3
|
0
|
3
|
0
|
2
|
0
|
0
|
0
|
1
|
0
|
1
|
Catatan:
-Pertanyaan (?), -Mengiyakan (+), -
Menidakkan (-),-Pernyataan (@)
-Perintah (!), -Melaksanakan (#),
-Menolak (*), -Tawaran (<), -Penerimaan (>), -Penolakan (^)
Dari
analisis struktur, terlihat bahwa ujaran berpasangan tidak selalu berbanding
secara simetris.
1.
ANALISIS
SOSIOLINGUISTIK
Wacana
percakapan adalah refleksi interaksi sosial dari masyarakat yang
menggunakannya. Wacana ini dapat menjelaskan kepada pendengarnya sikap para
penutur dalam berinteraksi. Suatu saat penutur menjadi bagian dari dunia yang
tidak terpisah-pisah oleh budaya dan tradisi tertentu tetapi di saat lain mereka
menarik diri ke dalam keanggotaan etnis atau ras tertentu.
Inilah
yang terjadi dalam percakapan antara pedagang di pasar dan antara pedagang
dengan pembeli. Untuk menganalisis fenomena ini, data wacana percakapan ini
dapat dianalisis dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik
yang dimaksud adalah pendekatan yang menggunakan fenomena adanya alih kode dan
campur kode dalam percakapan.
Alih
kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke
ragam lainnya karena sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan Agustina 1995).
Romaine (1995) mendefinisikan alih kode sebagai pemilihan kode yang di dalamnya
penutur mengganti ragam ujaran berdasarkan konteks dan domain pembicaraan,
biasanya perubahan ragam standar ke ragam daerah, tetapi juga dari satu bahasa
ke bahasa yang lain.
Pada
bagian ini disajikan ilustrasi data sebagai contoh analisis pola-pola alih
kode.
Transkrip
1 Percakapan di pasar Pasir Gintung
Pembeli
(B) : Anggur berapa Bu?
Penjual
(J) tiga puluh tiga ribu
B
: nggak iso kurang? (tidak bisa
kurang?)
J
: Nggak
B2
: Lek, apel Fuji
J
: Terus opo meneh? (terus apa lagi?)
B2
: Sing tak peseni wingi? (yang saya
pesan kemarin?)
J
: Gong, rung teko. (kosong, belum
datang)
B2
: Yo,yo. (ya,ya)
Pada
percakapan di atas, ada tiga peserta percakapan. Satu penjual (J), dan dua
pembeli (B dan B2). B2 adalah langganan si penjual sementara B tidak. Dalam
waktu yang hampir bersamaan kedua pembeli ini datang membeli buah kepada
penjual. Pada pembeli B, si penjual tetap menggunakan bahasa Indonesia walaupun
B sudah berupaya melakukan alih kode menggunakan bahasa Jawa dengan ujaran nggak
iso kurang agar dapat lebih jauh masuk kepada si penjual secara budaya
tetapi tidak ditanggapi. Pada penggalan ini code switching B tidak ditanggapi
oleh J. Hal yang sebaliknya terjadi kepada pembeli B2. Dengan inisiasi
percakapan menggunakan sapaan Lek ia diterima oleh si penjual dan mereka
meneruskan percakapan jual beli itu dengan menggunakan bahasa Jawa. Secara
otomatis J melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Jadi faktor
pelanggan yang datang dan beretnis Jawa mendorong penjual untuk melakukan alih
kode situasional.
2.
JENIS-JENIS
ALIH KODE
Alih kode
terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu; 1) Alih Kode Situasional; 2) Alih Kode
Metaforikal. Percakapan antarpedagang atau antarpembeli dan penjual di pasar
ini yang terjadi adalah alih kode situasional, yaitu alih kode untuk mencapai
tujuan sesaat sesuai dengan setting
sosial percakapan, dalam hal ini tujuannya adalah berjual beli dengan seting di
pasar, situasinya informal. Tingkat formalitas semakin menurun bila penjual
bertemu dengan penjual, atau penjual bertemu dengan pelanggan.
C.
PRAGMATIK
Di dalam
arus percakapan, tuturan (T) yang bermuatan implikatur pecakapan (IP) meluncur
bersama T lain yang berupa tuturan-langsung. Untuk memahami keberadaan suatu
IP, menurut Grice (1991:310), petutur perlu mengolah data yang berupa: (1)
makna konvensional kata-kata yang dipakai beserta referensinya, jikalau ada;
(2) prinsip kerja sama (PK) dan maksim-maksimnya; (3) konteks linguistiknya;
(4) hal-hal yang berkaitan dengan latar pengetahuan; dan (5) kenyataan adanya
kesamaan dari keempat hal itu pada partisipan, baik pada penutur (n) maupun
pada petutur (t), dan keduanya dapat saling memahami.
Menurut
Leech (1989:13) pragmatik adalah studi makna dalam kaitannya dengan situasi
ujaran (SU). Oleh karena itu, prasyarat yang diperlukan untuk melakukan
analisis pragmatik atas T, termasuk T yang bermuatan IP, adalah situasi ujaran
yang mendukung keberadaan suatu T dalam percakapan. Situasi ujaran meliputi
unsur-unsur: (1) penutur (n) dan petutur (t); (2) konteks; (3) tujuan; (4)
tindak tutur atau tindak verbal; (5) tuturan (T) sebagai produk tindak verbal;
(6) waktu; dan (7) tempat. Selanjutnya, untuk mengenal lebih jauh tentang
analisis pragmatik dan contoh penggunaannya, dalam pembahasan ini secara
berurutan dibahas perihal (1) konteks, (2) satuan analisis, (3) contoh
analisis, dan (4) penutup.
1.
KONTEKS
Pemahaman
konteks sangat diperlukan dalam analisis pragmatik. Mengapa? Bertolak dari
pemahaman konteks inilah satuan-satuan bahasa dalam suatu tuturan dapat
dijelaskan. Konteks ialah segala aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik
dan sosial sebuah tuturan. Leech (1989:13) mengartikan konteks sebagai
pengetahuan latar belakang tuturan yang sama-sama dimiliki baik oleh n maupun
oleh t dan yang membantu t menafsirkan makna T. Dengan demikian, konteks dapat
mengacu pada T sebelum dan sesudah T yang dimaksud, mengacu kepada keadaan
sekitar yang berkaitan dengan kebiasaan partisipan, adat istiadat, dan budaya masyarakat.
Konteks pun dapat mengacu pada kondisi fisik, mental, serta pengetahuan yang
ada di benak n maupun t.
Unsur waktu
dan tempat terkait erat dengan hal-hal tersebut. Oleh karena itu, konteks
sangat besar andilnya dalam D. T selalu memuat tujuan yang hendak dicapai oleh
n. Tujuan dapat berupa tujuan personal yang dicerminkan oleh proposisi (P) pada
T atau berupa tujuan sosial seperti menaati prinsip pragmatik yang berupa PK
dan prinsip sopan santun (PS).
Tujuan
personal lazimnya dicapai melalui tujuan-tujuan sosial. Dalam hal ini Leech
merasa lebih tepat memakai istilah tujuan atau fungsi daripada
memakai makna yang dimaksud n atau maksud n mengucapkan sesuatu.
Berkaitan erat dengan tujuan adalah tindak tutur, terutama tindak ilokusi atau
yang biasanya hanya disebut ilokusi. Tindak itu berperan menegosiasikan suatu P
di antara n dan t dalam komunikasi. Jika tata bahasa berurusan dengan maujud
statis yang abstrak seperti kalimat (dalam sintaksis) dan P (dalam semantik),
pragmatik berurusan dengan tindak tutur atau performansi verbal yang terjadi
dalam SU tertentu.
Dengan
demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih kongkret
daripada tata bahasa. Tindak tutur pada mulanya dicetuskan oleh seorang filosof
Inggris, Austin (1962), dalam bukunya How to Do Things with Words. Austin
pada dasarnya memandang bahwa manusia, dengan menggunakan bahasa dapat
melakukan tindakan-tindakan yang disebut tindak tutur (speech Act).
Austin (1978:101) membedakan adanya tiga macam tindak tutur, yakni lokusi,
ilokusi dan perlokusi. Ketiganya terjadi secara serentak. Lokusi mengaitkan
suatu topik dengan suatu keterangan dalam suatu ungkapan (subjek-predikat).
Ilokusi yaitu tindakan mengucapkan suatu pernyataan, tawaran, pertanyaan, dan
sebagainya. Perlokusi yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan itu
pada t sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan ungkapan. Menurut Nababan
(1987:18), dalam ilmu bahasa lokusi dapat disejajarkan dengan predikasi,
ilokusi dengan bentuk kalimat (berdasarkan maknanya), dan perlokusi dengan
maksud ungkapan.
Berdasarkan
ide Austin itu, Searle (1987:24), murid Austin, mengemukakan bahwa suatu tindak
tutur mendukung tiga macam tindak yang terjadi secara simultan, yakni (1)
tindak pengujaran kata (morfem, kalimat) (utterance act); (2) pengacuan
dan predikasi yang disebut tindak proposisi (propositional act); dan (3)
pernyataan, pertanyaan, perintah, janji, dan sebagainya yang disebut tindak
ilokusi (illocutionary act). Dari ketiga macam tindak itu, tindak
ilokusi atau singkatnya ilokusi kemudian memegang peranan penting di dalam
studi pragmatik. Gunarwan (1994:43) menyatakan hal yang serupa bahwa tindak
tutur mempunyai kedudukan penting di dalam pragmatik karena tindak tutur
merupakan salah satu satuan analisisnya.
Searle
(1979:39) memandang bahwa tindak ilokusi merupakan unit terkecil dari
komunikasi linguistik. Ia membedakan adanya lima macam tindak ilokusi, yakni
tindak ilokusi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklarasi. Tindak
ilokusi asertif ialah ilokusi yang menyatakan kebenaran, misalnya: menyatakan,
mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat, dan melaporkan. Tindak
ilokusi direktif ialah ilokusi yang menghasilkan efek berupa tindakan yang
dilakukan oleh t, misalnya: memesan, memerintah, memohon, menuntut, dan memberi
nasihat. Tindak ilokusi komisif ialah ilokusi yang membuat n terikat pada suatu
tindakan di masa mendatang, misalnya: menjanjikan, menawarkan, dan berkaul.
Tindak ilokusi ekspresif ialah ilokusi yang mengutarakan sikap psikologis n
terhadap yang tersirat dalam ilokusi, misalnya: mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji, dan meng-ucapkan
belasungkawa.
Tindak
ilokusi deklarasi ialah ilokusi yang keberhasilan pelaksanannya mengakibatkan
kesesuaian antara isi P dengan realitas, misalnya: memecat, mengundurkan diri,
membaptis, menamai, menjatuhkan hukuman, mengucilkan/membuang, serta mengangkat
pegawai (Leech, 1989:105).
2.
SATUAN
ANALISIS
Satuan
analisis dalam pragmatik yang menjadi unit dasar atau satuan terkecil dalam
komunikasi linguistik sesuai dengan tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle
adalah satuan yang mendukung ilokusi dan proposisi (P). Satuan itu dalam
analisis pragmatik disebut satuan pragmatis (SP). Setiap SP mengandung muatan
yang berupa paduan antara ilokusi dan P. Sudah dijelaskan bahwa, pragmatik
mempelajari makna yang tidak terjangkau pemecahannya oleh semantik, yaitu makna
yang muncul dalam konteks pemakaian kalimat di dalam komunikasi. Analisis
pragmatik perlu dilakukan untuk memperoleh pemecahan masalah makna pada T yang
bermuatan IP. Satuan pragmatis suatu IP akan dapat dideskripsikan melalui
proses pemecahan masalah atas masalah yang dihadapi antara n dan t tatkala n
mengucapkan T sehingga pada gilirannya dapat ditarik implikasi pragmatis yang
menjadi IP dari
suatu T.
Leech
(1989:36) menyatakan bahwa prosedur pemecahan masalah itu membutuhkan
inteligensi manusia yang dapat mencari dan menemukan pilihan- pilihan
kemungkinan bardasarkan bukti kontekstual. Prosedur pemecahan masalah dapat
dipandang dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang n dan dari sudut
pandang t. Dari sudut pandang n, dapat digunakan analisis cara-tujuan yang
menggambarkan keadaan awal sebagai masalah, keadaan tengahan, dan keadaan akhir
sebagai tujuan n untuk mengatasi masalah melalui cara yang terletak di dalam
rangkaian antara masalah dan tujuan. Analisis cara-tujuan itu dapat diperjelas
dengan Bagan 1.
Bagan 1
sesungguhnya mencerminkan pandangan Searle yang mengemukakan bahwa tindak tutur
tidak langsung (tindakan a) merupakan cara untuk melakukan tindak tutur lain
(tindakan b). Dengan mengujarkan T Udaranya panas yang SP-nya berilokusi
menginformasikan fakta, n mengimplikasikan ke dalam SP itu ilokusi yang meminta
atau menyuruh t untuk menyalakan alat pendingin. Untuk menyuruh t menyalakan
alat pendingin, n tidak secara terus-terang langsung menyuruh t, tetapi
berputar dulu dengan mengujarkan T Udaranya panas sebagai tuturan tidak
langsung untuk sampai pada keadaan akhir yang menjadi tujuan n mengujarkan T.
Agar dapat
diperoleh gambaran yang lebih konkret, berikut ini disajikan sebuah contoh
analisis heuristik. Analisis dilakukan terhadap IP X yang diciptakan oleh Reli
pada data berikut ini.
Situasi
Pukul 04.40 biasanya Reli sudah bangun dan belajar. Pukul 06.00 mandi langsung
memakai baju sekolah. Sambil menanti Wugar dan ayahnya siap untuk sarapan
bersama, Reli sering mengikuti tayangan TPI sambil berdandan. Selesai berbedak
dan menyisir rambutnya, ia ke kamar mendekati ayahnya yang masih belum bangun
dari tempat tidurnya, meskipun matanya telah terbuka dan tadi sudah salat
subuh. Reli memiliki kebiasaan yang baik setelah mandi dan berdandan ia selalu
mencium ayahnya. Pagi ini setelah menyisir rambutnya, ia pun melakukan hal itu,
dansebaliknya.
Percakapan:
R: Pa,
cium, Pa!
M: Heem.
R: (Reli
mencium pipi kanan, kiri, dan dahi ayahnya dan begitu.
pula
sebaliknya si ayah.)
Sudah siang,
Pa. (X)
M: Ya.
R: Papa
belum mandi. (Y)
Implikasi: Reli
menyuruh ayahnya bangun. Reli menyuruh ayahnya mandi.
Hipotesis T
berbunyi:
A. n mengatakan kepada t bahwa (P)= n mengatakan kepada t bahwa (hari sudah
siang)
Hipotesis daya P
dari T:
B. Tujuan n ialah agar [t mengetahui (bahwa P)= Tujuan
n ialah agar [t mengetahui (bahwa hari sudah siang)]
Hipotesis
daya P itu menyatakan bahwa T adalah tuturan n yang menginformasikan fakta
kepada t. Kemudian dilakukan pengajian hipotesis berdasarkan PK apakah sesuai
dengan bukti kontekstual yang ada ataukah tidak
dengan mencocokkan
bukti itu pada konsekuensi C, D, dan E berikut ini.
C. n yakin
(bahwa P) = n yakin (bahwa hari sudah siang) (Maksim Kualitas)
D. n yakin [bahwa t tidak mengetahui (bahwa P)] = n
yakin [bahwa t tidak mengetahui (bahwa, hari sudah siang)] (Maksim
Kuantitas).
E. n yakin (bahwa sebaiknya [t mengetahui(bahwa P)]) =
n yakin (bahwa sebaiknya [t mengetahui (bahwa hari sudah siang)]) (Maksim Hubungan).
Ternyata
konsekuensi C didukung bukti yang ada dalam data bahwa memang benar hari sudah
siang: pukul 06.20. Tetapi, konsekuensi D tidak demikian, karena data yang ada
menunjukkan bahwa si ayah telah mengetahui bahwa hari sudah siang, ia sudah
sembahyang, tidak tidur lagi, sudah bangun, dan sudah mencium Reli. Reli
mengetahui semua itu sehingga n tidak yakin bahwa t tidak mengetahui bahwa hari
sudah siang. Dengan demikian n melanggar maksim kuantitas karena tidak
memberikan informasi baru bagi t. Akibat dari itu, n pun melanggar maksim
hubungan karena konsekuensi E pun tidak terdukung bukti, n tidak yakin bahwa
ayahnya sebaiknya diberi tahu bahwa hari sudah siang karena Reli mengetahui
bahwa
ayahnya telah tahu.
Pemberitahuan itu tidak relevan dengan tujuan yang ada pada rumusan B. Karena
konsekuensi D dan E tidak sesuai dengan bukti kontekstual, maka hipotesis B
ditolak. Untuk selanjutnya, disusun hipotesis baru yang paling dekat dengan
bukti kontekstual yang ada dan yang sangat besar peluangnya untuk dapat
diterima.
A. n
mengatakan kepada t (bangun)
B. Tujuan n
ialah menyuruh agar [t (bangun)]
C. n yakin
(bahwa perlu menyuruh t bangun)
D. n yakin
[bahwa t tidak mengetahui maksud (bahwa n menyuruh t bangun)]
E. n yakin
(bahwa sebaiknya [t mengetahui (bahwa n menyuruh t bangun)])
Hipotesis B
diuji dengan membandingkan konsekuensi C, D, dan E dengan data yang ada.
Setelah diuji, ternyata bahwa C didukung oleh data: Reli yang sudah berdandan
bertujuan menyuruh ayahnya segera bangun untuk melakukan aktivitas mandi,
berpakaian, sarapan bersama, lalu ayahnya mengantar ke sekolah sebagaimana yang
biasa mereka lakukan setiap pagi. Reli memakai SP menginformasikan fakta karena
ia menaati PS. Sebagai anak ia telah memahami bahwa tidak sopan untuk
memerintah ayahnya secara langsung sehingga ia tidak mau memakai SP menyuruh.
Konsekuensi D pun didukung data. Reli yakin bahwa ayahnya yang berada di kamar
tidak mengetahui bahwa Reli sudah mandi, sudah mengenakan baju sekolah, dan bahkan
sudah berdandan sehingga menghendaki ayahnya bangun. Oleh karena. itu, cukup
relevan jika, Reli menyuruh ayahnya untuk bangun sehingga, konsekuensi E pun
sesuai dengan data kontekstual.
Hasil
pengujian hipotesis menunjukkan bahwa konsekuensi C, D, E sesuai dengan data
kontekstual. Dengan demikian, hipotesis B dapat diterima. Interpretasi tesis B
adalah bahwa tuturan X, Sudah siang, Pa, yang diproduksi oleh Reli
termasuk T yang bermuatan IP. T itu mempunyai implikasi pragmatis menyuruh,
yaitu, Reli menyuruh ayahnya untuk bangun. Hasil interpretasi IP seperti yang
telah dilakukan dengan analisis heuristik itu sifatnya tidak terlalu pasti.
Dalam hal ini Leech (1989:30) menyatakan bahwa penjelasan terhadap implikatur
mengandung sifat probabilitas. Apa yang dimaksudkan oleh n dengan T-nya tidak
pernah dapat diketahui secara pasti. Faktor kondisi yang diamati, T, dan
konteksnya mengarahkan untuk menyimpulkan interpretasi dari peluang-peluang
yang paling mungkin. Menafsirkan daya P sebuah T sama dengan pekerjaan tebak menebak
atau dengan istilah canggihnya menciptakan hipotesis-hipotesis. Seorang penafsir
yang baik sekalipun tidak selalu sanggup membuat kesimpulan yang pasti mengenai
maksud n karena sering kali terjadi suatu T sengaja dikaburkan oleh penuturnya.
Agaknya demikian juga, penafsiran IP anak usia SD yang masih berada dalam
proses usaha menguasai BI. Satu T yang berupa BL mengekspresikan suatu SP. SP
dapat menyiratkan satu atau lebih SP lain sebagai implikasi pragmatis yang
mewujudkan IP pada diri t.
D.
ANTROPOLINGUISTIK
1. Pengantar
Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak hanya
berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda, tetapi cara berbicaranya juga
berbeda. Dalam beberapa masyarakat percakapan
yang normal berisi perdebatan, suara yang meninggi, dan emosi yang
menonjol. Dalam masyarakat yang lain
orang justru menghindari perdebatan, berbicara dengan suara yang lembut dan
menjaga perilakunya. Pada beberapa negara di dunia berbicara pada saat orang
lain sedang berbicara dianggap tidak
sopan, sedangkan pada beberapa negara lainnya hal ini malah dianggap sebagai
bagian dari kepandaian berbicara.
Dalam semua penelitian lintas budaya, masalah metode
yang dikesampingkan adalah bias etnosentris, yaitu memahami praktik wacana
kebudayaan lain melalui prisma kebudayaan sendiri. Ada kebutuhan untuk
menemukan perspektif universal dari bahasa yang mandiri pada struktur wacana
dan nilai-nilai kebudayaannya.
Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang
berbeda dalam kajian wacana dan
kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya dari lima kebudayaan
yang berbeda (Jepang dan Melayu).
Dengan cara ini akan digambarkan beberapa dimensi utama
perbedaan lintas budaya dalam wacana. Dalam semua penelitian lintas budaya,
masalah metode yang dikesampingkan adalah bias etnosentris, yaitu memahami
praktik wacana kebudayaan lain melalui prisma kebudayaan sendiri. Ada kebutuhan
untuk menemukan perspektif universal dari bahasa yang mandiri pada struktur
wacana dan nilai-nilai kebudayaannya.
Dalam bab ini akan diselidiki berbagai ancangan yang berbeda
dalam kajian wacana dan kebudayaan kemudian diungkapkan aspek wacana budaya
dari dua kebudayaan yang berbeda (Jepang dan Melayu). Dengan cara ini akan
digambarkan beberapa dimensi utama perbedaan lintas budaya dalam wacana.
Pada bagian ini akan ditelaah dua fenomena wacana yang terdapat
dalam masyarakat, budaya, dan geografi yang berbeda. Di antara fenomena wacana
tersebut akan diperlihatkan pilihan kata yang berbeda dalam hubungannya dengan
keinginan, pendapat, dan perasaan, konvensi yang berbeda sewaktu berpartisipasi
dalam percakapan, gaya ujaran khusus, kebiasaan dan genre budaya-khusus.
Berdasarkan tekstur bahasa, perbedaan yang selalu ada
mencakup frekuensi imperatif dan pertanyaan, bentuk panggilan dan vokatif,
bentuk-bentuk khusus untuk mengacu pada diri sendiri, keberterimaan negasi yang
jelas, eksklamasi dan partikel wacana, dan penggunaan kosakata yang bermarkah
dalam berbagai cara.
2.
Kajian Budaya
Pada beberapa tingkatan dimungkinkan berbicara tentang
gaya wacana (discourse style) yang
lebih disukai dari sebuah kebudayaan, paling tidak jika dibatasi pada bidang
yang umum, yaitu situasi di mana para peserta tidak mengenal satu sama lain
dengan baik dan kemudian diamati peserta lainnya ketika mereka sedang
berbicara. Umumnya dalam literature ditemukan istilah, seperti ketaklangsungan
(inderectiness) dan pengendalian (restraint)
yang diterapkan pada seluruh kebudayaan. Pada bagian ini akan dibandingkan dua
kebudayaan yang tidak berhubungan (Jepang dan Melayu).
·
Bagaimanakah persamaan kedua
kebudayaan itu ?
·
Adakah logika kebudayaan dalam pilihan
wacananya ?
Ø Bahasa Jepang
Kebudayaan Jepang sering dicirikan dengan penindasan
atau tidak percaya dengan kata-kata.
Contohnya, Doi (1988:33) mencatat bahwa tradisi Barat menekankan pentingnya kata-kata. Di Jepang tradisi ini tidak ada.
Saya tidak bermaksud memberi kesan bahwa budaya Jepang meremehkan kata-kata,
tetapi terdapat kesadaran tentang kata-kata yang tidak terungkap. Penulis
lainnya menunjukkan bahwa penganut Budha menekankan inutility dari komunikasi
bahasa dan pilihan budaya Jepang untuk komunikasi nonverbal dalam pendidikan
tradisional dan dalam interaksi antara ibu dan anaknya.
Salah satu sumber budaya penting pengendalian verbal
adalah budaya enryo, yang biasanya
diterjemahkan dengan restraint
‘pengendalian’ atau reserve ‘sikap
hati-hati’. Enryo menghalangi
pembicara Jepang untuk menyampaikan keinginannya secara langsung. Juga, secara kultural dianggap kurang sopan meminta
langsung pada orang lain apa yang diinginkan.
Mitzutani dan Mitzutani (1987:49) menjelaskan bahwa "kecuali dengan
keluarga dan teman dekat, pada orang lain akan tidak sopan jika dikatakan *Nani-o-tabetai-desu-ka 'Apakah Anda
ingin makan ?' dan *Nani-ga-hosii-desu-ka
'Apa yang ingin Anda miliki ?'
Seorang tamu di Jepang tidak terus-menerus ditawarkan
pilihan oleh tuan rumah yang penuh perhatian, seperti di Amerika Serikat. Tuan
rumah bertanggung jawab dalam mengantisipasi apa yang menyenangkan tamunya dan
secara sederhana menyajikan makanan dan minuman, kemudian mendesak mereka untuk
memakannya; dalam frase standar, 'tanpa enryo'. Kendala budaya yang sama
mencegah orang-orang di Jepang untuk menyatakan pilihan dengan jelas, bahkan
dalam menanggapi pertanyaan langsung. Orang Jepang, ketika ditanya hal-hal yang
menyenangkan, menghindari jawaban dengan ungkapan, seperti (1a). Fenomena yang
terkait adalah sengaja menggunakan ungkapan numerikal yang tidak tepat.
Misalnya, ketika ingin membeli tiga buah apel, orang Jepang akan lebih menyukai
ungkapan about three ‘sekitar tiga’,
seperti (1b). Ketika memberi saran, ungkapan open-ended, seperti demo dan nado
lebih disukai, seperti (1c).
(1a) Itsu-demo kekkoo-desu.
'Kapan pun akan dilakukan'
Doko-demo kamaimasen. 'Di mana pun baik untuk saya'.
Nan-demo kamaimasen. 'Apa pun akan cocok untuk saya'.
(1b) Mitsu-hodo/gurai/bakari
kudasai. 'Tolong, berikan saya tiga'.
(1c) Eiga-demo mimashoo-ka
? 'Bagaimana kalau menonton bioskop atau yang lain ?'
Seperti halnya keinginan seseorang, demikian pula
pikiran dan perasaannya. Bukan hanya pertanyaan kapan mengekspresikannya,
tetapi apakah orang harus mengekspresikan semuanya, sebuah kenyataan yang
menyebabkan beberapa pengamat menggambarkan orang-orang Jepang sebagai pengawal
dirinya sendiri (guarded self).
Perbedaan yang sangat mencolok antara orang Jepang dan
orang Amerika tidak hanya menyangkut ranah topik yang mereka siapkan untuk
dibicarakan, tetapi juga ranah orang, yaitu kepada siapa mereka berbicara untuk
menyampaikan pikiran dan maksudnya. (1) Jika seseorang berbicara, maka
dihindari menyatakan sesuatu yang dapat menyakiti atau menghina seseorang atau
memalukan pembicara sendiri. Semua pengamatan ini mengisyaratkan wacana
kebudayaan Jepang; (2) sering tidak baik mengatakan apa pun pada orang lain; (3)
tidak baik mengatakan sesuatu seperti ini pada orang lain, seperti "Saya
ingin ini", "Saya tidak ingin ini", "Saya kira ini",
"Saya kira bukan ini" jika saya mengatakan sesuatu seperti ini,
seseorang akan merasakan sesuatu yang buruk; (4) sebelum saya mengatakan
sesuatu pada seseorang adalah baik memikirkan sesuatu seperti, (saya tidak
dapat mengatakan semua yang saya pikirkan jika saya lakukan, seseorang akan
merasakan sesuatu yang buruk).
Budaya Jepang lain yang relevan dengan pilihan wacananya
adalah Omoiyari, yang diperkenalkan oleh beberapa penanggap kebudayaan sebagai
salah satu kunci sifat orang Jepang.
Lebra (1976:38) menggambarkannya seperti di bawah ini.
“Omoiyari refers
to the ability and willingness to feel what others are feeling, tovicariously
experience the pleasure or pain that they are undergoing, and to help them satisy
their wishes ... without being told verbally”.
‘Omoiyari mengacu pada kemampuan dan kesediaan merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain, seolah-olah mengalami
sendiri kesenangan atau kesedihan yang mereka alami dan membantu mereka memenuhi keinginannya tanpa disampaikan
secara verbal.’
Tentu saja tidak sulit menemukan bukti untuk mendukung
gambaran Lebra tentang kebudayaan Jepang, seperti budaya omoiyari. Misalnya, pada kolom pembaca di surat kabar Shikoku
Shimbun, tempat pembaca menempatkan foto anak-anaknya dan menyatakan harapan
dan keinginan mereka, salah satu yang paling umum adalah Omoiyari no aru hitoni nattene 'Silakan menjadi orang bersama
omoiyari'. Pada buku pedoman pendidikan untuk guru, yang pertama adalah Omoiyari no kokoro o taisetsuni shimashoo 'Marilah
memperkaya pikiran/hati dengan omoiyari'.
Dalam hubungan sempai/koohai 'senior/junior' di perusahanperusahaan Jepang, omoiyari berperan penting : sempai
diharapkan bisa mengantisipasi kebutuhan koohai dan memuaskannya, kepadanya
akan diberi kesetiaan yang mutlak.
Orang Jepang bersikap tegas dalam mengungkapkan
perasaan. Orang Jepang yang tidak bisa mengendalikan emosinya dianggap belum
dewasa. Ini tidak hanya diterapkan pada emosi negatif, seperti marah, takut,
muak, dan sedih, tetapi juga pada ekspresi gembira.Sikap saling mengimbangi ini
tampak pada wacana di bawah. Pada (5a) dan (5b), sikap budaya Jepang
menghindari orang dalam menyatakan perasaannya, tetapi pada saat yang sama
mendorong kepekaan emosi melalui orang lain.
Wacana terakhir melarang pembicara Jepang menghindari
perselisihan yang terbuka dan mengekspresikan persetujuan yang positif.
(5.a) jika saya merasakan sesuatu
tidak baik mengatakan sesuatu tentang hal itu pada orang lain jika saya
lakukan, orang ini dapat merasakan sesuatu yang buruk saya tidak dapat mengatakan apa yang saya
rasakanb. rasanya baik jika saya dapat mengetahui apa yang dirasakan orang lain
orang ini tidak mengatakan sesuatu pada saya
(6) jika seseorang mengatakan
sesuatu pada saya tentang sesuatu saya
tidak dapat mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya pikir tidak sama"
rasanya baik mengatakan sesuatu seperti ini : "Saya akan mengatakan hal
yang sama"
Aspek lain dari gaya wacana bahasa Jepang juga dapat
dimengerti dari wacana
kebudayaan ini. Misalnya, ganti bicara (turn-taking)
mengikuti pola yang berbeda dari masyarakat Anglo-Amerika. Percakapan bahasa
Jepang diharapkan menjadi suatu karya kolektif dari interlokutor dan
ketergantungan pada kata-kata balasan yang dalam bahasa Jepang disebut aizuchi. Istilah ini dapat dijelaskan
sebagai berikut : ai bermakna
'melakukan sesuatu bersama-sama dan tsuchi
bermakna 'sebuah palu'. Jadi, dua orang yang sedang berbicara dan saling
bertukar kata-kata disamakan dengan dua palu di atas mata pisau.
Penutur bahasa Jepang selalu membiarkan kalimatnya belum
lengkap supaya pendengar dapat melengkapinya : 'melengkapi kalimat seseorang
terkesan seperti orang yang menolak partisipasi orang lain (Mizutani dan
Mizutani, 1987:27).
Ø Bahasa Melayu
Kebudayaan tradisional orang Melayu menaruh perhatian
pada tingkah laku yang
sopan, dan bagian integralnya ialah berbicara dengan cara yang
sopan. Norma ujaran yang halus dalam bahasa Melayu agak mirip dengan bahasa
Jepang, tetapi jika diamati lebih mendalam
persamaan itu menjadi dangkal.
Para peneliti umumnya menggambarkan budaya Melayu dengan
nilai-nilai pengendalian yang halus dan ramah-tamah. Orang Melayu digambarkan
sebagai orang yang sopan, lembut, dan luwes. Secara tradisional mereka adalah
orang desa, sumber penghidupannya bergantung pada perikanan, perkebunan, dan
pertanian.
Orang Melayu sudah lama menjadi muslim meskipun tradisi
(adat)-nya sangat menuansai kegiatan Islam mereka. Kebudayaannya kaya dengan
kata-kata, peribahasa, pantun, dan syair. Pentingnya bahasa dalam kebudayaan
Melayu dibuktikan dengan kenyataan bahwa bahasa mempunyai makna kedua, yaitu
'rasa hormat' dan 'tata krama'.
Satu konsep dasar dalam pergaulan orang Melayu adalah
rasa malu. Walaupun jenis perasaan ini selalu diterjemahkan dengan ashamed, shy,
atau embarrassed, terjemahannya tidak menyampaikan fakta bahwa orang Melayu
menganggap kemampuan untuk merasa malu sebagai suatu kebaikan sosial, sama
dengan rasa sopan.
Keinginan menghindari rasa malu merupakan kekuatan utama
dalam hubungan sosial orang Melayu. Dua konsep sosial yang berhubungan ialah
maruah dan harga diri (selfesteem), yang keduanya terancam oleh kemungkinan
tidak disetujui konsep lain, yaitu rasa malu. Vreeland (1977:117) menekankan
pentingnya konsep ini bagi perilaku orang Melayu pada umumnya.
“The social value system is predicated on the dignity of
the individual and ideally all social behaviour is regulated in such a way as
to preserve one’s own amour propre and to avoid disturbing the same feelings of
dignity and self-esteem in others”,
‘sistem nilai sosial didasarkan pada martabat pribadi
dan idealnya semua perilaku sosial diatur dengan cara tersebut selama
dipertahankan harga diri mereka dan dihindari menyinggung gengsi dan harga diri
satu sama lain’.
Seperti di Jepang, orang mengira masyarakat Melayu
berpikir sebelum berbicara. Ada ungkapan yang menyebutkan "Kalau cakap
pikirlah sedikit dulu" (‘Jika kamu akan berbicara berpikirlah lebih
dahulu'). Namun, sikap budaya yang mendasar sedikit berbeda dengan di Jepang.
Seperti keinginan menghindari teman bicara merasakan sesuatu yang buruk (dengan
mengatakan "jaga hati orang" ('jagalah perasaan orang lain'), dalam
bahasa Melayu peringatan ini dimotivasi oleh keinginan menghindari teman bicara
memikirkan sesuatu yang buruk tentang seseorang, seperti sebelum saya
mengatakan sesuatu pada seseorang, rasanya baik berpikir: saya tidak ingin
orang ini merasakan sesuatu yang buruk, saya tidak ingin orang ini memikirkan sesuatu
yang buruk tentang saya.
Perbedaan lain adalah bahwa nilai budaya Melayu
ditentukan oleh kemampuan berbicara. Cara berbicaranya yang halus sangat
dikagumi yang membawa kebanggaan pada dirinya dan pendidikannya. Cara berbicara
ini adalah keterampilan yang dipelajari di rumah dan sama sekali tidak
berhubungan dengan kekayaan, keturunan, atau pendidikan formal.
Seorang petani yang hanya mendapat pendidikan dasar
mungkin saja berbicara lebih sopan daripada seorang pegawai di kantor
pemerintah atau swasra. Ujaran yang halus akan bernilai dalam situasi formal
atau ketika berbicara dengan orang lain yang berada di luar lingkungan
keluarganya. Orang Melayu selalu merasa orang lain menjaga dan menyampaikan
pendapatnya, siap menghinanya tanpa kecakapan berbicara, seperti kurang ajar,
tidak tahu aturan. Cara yang sopan akan mendapat kebanggaan. Sikap budaya ini
digambarkan sebagai seperti jika orang mendengar seseorang mengatakan sesuatu kadang-kadang
mereka memikirkan sesuatu seperti ini: ‘orang ini tahu bagaimana mengatakan
sesuatu dengan baik pada orang lain, ini baik’; kadang-kadang mereka memikirkan
sesuatu seperti, ‘orang ini tidak tahu bagaimana mengatakan sesuatu dengan baik
pada orang lain ‘ini buruk’.
Ciri ujaran yang halus termasuk penggunaan frase yang
bernilai tinggi sebagai pengganti kosakata yang biasa, perhatian yang besar
untuk membentuk acuan pribadi (misalnya, menghindari teman bicara dan mengacu
pada diri sendiri); dan untuk inventaris yang besar dari peribahasa untuk
menyinggung hal-hal yang paling sensitif. Nada yang lembut (lunak) juga
penting. Perilaku ini tidak hanya diterapkan dalam berbicara, tetapi juga pada
ranah perilaku nonverbal; misalnya, melepas sepatu sebelum masuk ke rumah,
memakan sedikit makanan yang ditawarkan, bersikap khusus ketika melewati orang
yang sedang duduk, menggunakan tangan kanan ketika makan atau memberikan
sesuatu, menghindari sentuhan fisik dengan anggota yang berbeda jenis kelamin,
menunjuk dan memberi isyarat dengan cara tertentu.
Budaya Melayu menghindari orang mengekspresikan
perasaannya. Berbeda dengan situasi di Jepang yang menyatakan perasaan dengan
ekspresi yang berhubungan dengan muka dan tindakan orang lain, ada asumsi yang
mendasar bahwa orang dipercaya menjadi sensitif pada manifestasi nonverbal.
Wacananya seperti di bawah ini.
( jika saya merasakan sesuatu tidak baik mengatakan sesuatu
seperti ini pada orang lain: 'saya merasakan seperti ini' jika orang lain dapat
melihat saya, mereka akan tahu apa yang saya rasakan)
Pandangan yang bermakna merupakan strategi nonverbal
yang tepat. Misalnya, verba bertenung menggambarkan pandangan yang digunakan
untuk menyampaikan kejengkelan terhadap perilaku orang lain, misalnya, anak
yang berkelakuan tidak sopan atau seseorang di dalam sebuah ruangan yang
membunyikan bolpoin dengan cara menjengkelkan. Mata terbeliak menyampaikan
celaan; merendahkan mata dan sengaja menoleh tanpa berbicara menandakan orang
itu muak pada seseorang; mengatupkan kedua bibir dan menjuihkannya menandakan
kejengkelan.Ekspresi nonverbal merupakan kritik untuk teman dekat; dalam bahasa
Inggris disebut angry, yang tidak
dikaitkan dengan suasana dari 'kata-kata marah' (didukung wacana kebudayaan
Anglo tentang kebebasan berekspresi), tetapi dengan wajah yang sedih dan
cemberut yang dalam bahasa Melayu disebut merajuk.
Terbukti dari perbandingan antara bahasa Jepang dengan
bahasa Melayu adanya pilihan wacana yang bervariasi dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lain. Sebuah gaya yang biasa dalam satu kebudayaan mungkin terlihat
sedikit mengejutkan dan menghina, atau membosankan dan menjengkelkan dari sudut
pandang kebudayaan yang lain. Untuk memahami variasi kebudayaan itu penting
kiranya diamati pola ujaran tanpa memperhatikan nilai dan norma-norma yang
menjelaskannya. Perlu diingat pula bahwa pola ujaran yang kelihatannya mirip (misalnya,
pilihan untuk pengendalian verbal) mungkin berasal dari nilai kebudayaan yang
berbeda dan dihubungkan dengan makna sosial yang berbeda dalam latar kebudayaan
yang berbeda. Untuk memperjelas hal ini dan bahkan untuk mendeskripsikan pola
ujaran itu tanpa distorsi etnosentris, dibutuhkan perhatian khusus pada
metabahasa dari deskripsi dan analisis.
E.
NEUROLINGUISTIK
1.
Kajian Neurolinguistik
Perkembangan
bahasa pada anak bergantung pada maturasi otak, lingkungan, perkembangan
motorik dan kognitif, integritas struktural, dan fungsional dari organism
(Sidiarto, 1991:134). Apabila terdapat gangguan pada proses perkembangan anak,
maka akan berimplikasi pula terhadap pembelajaran bahasa pada anak. Kajian ini
berkaitan dengan apa yang terjadi di dalam otak, yang satu lagi berkaitan
dengan apa yang diekspresikan dalam tuturan dan tulisan. Penelitian ini
ditekanan pada ekspresi pemahaman anak autis oleh subjek tunggal yang mempunyai
dasar neurologis. Objek kajian secara teoritis memakai psiko-neurolinguistik
oleh Nunan dalam Sastra (2005:105), yaitu dengan merekam, merasa, dan memahami
fenomena yang sebenarnya terjadi, baik dari diri subjek maupun perkembangan
subjek dan lingkungannya. Kajian neurolinguistik merupakan kajian yang berupaya
memahami kerja otak untuk memproses kegiatan berbahasa sebagaimana
psikolinguistik hanya saja fokusnya berbeda. Neurolinguistik lebih berkecimpung
dalam memahami kesulitan berbahasa atau gangguan berbahasa, yang mencakup
kegiatam bicara, mendengar, membaca menulis, dan berbahasa isyarat yang
menganggu kemampuan berkomunikasi (Lauder, 2005:238).
Neurolinguistik
dapat ditelusuri latar belakang subjek mengalami autis, yaitu terdapat
kerusakan pada sistem syaraf yang membuat kemampuan mengingat mengalami
keterbatasan. Peneliti mencoba mengaplikasikan teoretis sejalan dengan data
yang berada di lapangan. pembahasannya
dapat dikemukakan berikutnya.
1) Gambaran Ekspresi Anak Autis
Gambaran
ekspresi subjek di antaranya sebagai berikut:
(1)
Perilaku Kognitif pada Subjek Tunggal.
Subjek
dalam hal kecepatan belajar (learning
rate), anak autis jauh ketinggalan dari anak-anak normal. Hal ini membuat
respons yang dimiliki subjek mengalami kekurangan. Subjek memerlukan waktu yang
lebih lama bila ingin berkembang. Fleksibilitas mental yang kurang
mengakibatkan kesulitan dalam hal komunikasi dan menangkap informasi, ini
dianggap sulit oleh subjek. Kemampuan memori anak normal dengan anak autis
berbeda. Perkembangan pada anak autis khususnya subjek tunggal yang diteliti
mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal.
Subjek mengalami hambatan defisit dalam perolehan pengetahuan khususnya dalam
berbahasa dan menulis.
(2)
Perilaku Psikomotor pada Subjek Tunggal.
Kemampuan
berbahasa sejalan dengan perkembangan manusia, semua terdapat pada alat
artikulasi dan auditori yang normal. Namun, proses memproduksi kata-kata
sebenarnya berlangsung terus, seperti pada proses pengembangan pengenalan. Hal
ini merupakan abstraksi atau kata-kata yang terkandung pada makna. Proses
berbicara dan menulis merupakan proses serebal yang berarti proses ekspresi
verbal, komprehensi, dan kompentensi yang dibentuk oleh sel-sel saraf otak pada
neuron.
Di
bawah ini analisis kemampuan berbahasa subjek pada saat melafalkan kata-kata,
di antaranya sebagai berikut.
telepon
/telepo/ [telepo]
telepon
= [telepo]
penghilangan fonem /n/ kata telepon diucapkan telepo oleh ilustrasi
responden. Kata telepon mengalami penghilangan fonem /n/ di akhir kata menjadi
telepo. Namun dapat di temukan secara pengucap subjek ketikan melafalkan /n/
secara sengau.
ayah
/hayah/ [hayah]
ayah =
[h/a/y/a/h]
Penambahan fonem /h/ kata ayah diucapkan hayah ilustrasi responden.
Kata ayah mengalami penambahan fonem /h/ di awal kata menjadi hayah.
Di bawah ini rekapitulasi kemampuan subjek dalam
mengucapkan kata-kata. rekapitulasi variasi pelafalan tipe perubahan bunyi. Berdasarkan
rekapitulasi dapat diperoleh bahwa kemampuan berbahasa subjek mengalami
protesis dan sinkope. Saat subjek mengucapkan kata mengalami pelepasan huruf
diakhir dan penambahan huruf di awal kata. Hal tersebut terjadi berdasarkan
data yang diperoleh.
(3)
Perkembangan Afektif pada Subjek Tunggal
Perkembangan
perilaku afektif yang dimiliki subjek berdasarkan dorongan dan emosi yang
berkaitan dengan tingkah laku ditunjukkan pada saat penyesuaian berinteraksi
sosial. Hal ini menjadi proses kepribadian sosial. Hal ini terbukti ketika
karakter emosi yang dimiliki subjek. Subjek merupakan seorang wanita yang mudah
dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, cenderung
melanggar ketentuan, sensitivitas yang tinggi. Hal ini terjadi karena tidak ada
penyesuaian diri dan kecanggungan. Kecenderungan hal negatif dilakukan subjek
adalah selalu ingin bermain handphone.
2) Deskripsi Pemahaman Anak Autis
Pemahaman
dalam mendeskripsikan dari subjek yaitu suatu tulisan. Hasil motorik subjek, di
antarnya; (1) gangguan dalam komunikasi verbal maupun nonverbal seperti
terlambat bicara, mengeluarkan kata-kata sama bahasanya sendiri yang tidak
dapat dimengerti, echolalia, sering meniru dan mengulang kata tanpa ia mengerti
maknanya; (2) gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata,
tidak melihat jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, lebih suka bermain
sendiri; (3) gangguan pada bidang perilaku yang terlihat dan adanya perilaku
yang berlebih (excessive) dan
kekurangan (deficient), seperti
impulsive, hiperaktif, repetitive.
Contoh:
(a)
Lama sakali Ane betung dengan kakak jarta.
Maksudnya:
Lama sekali ane tidak bertemu dengan kakak yang di jakarta
(b)
Setiap hari ribur ane pergi retona utuk makan.
Maksudnya
: setiap hari libur ane pergi ke restoran untuk makan
(c)
Ane dan kakak nail parasawar terbang.
Maksudnya:
Ane dan kakak naik pesawat terbang
Data
di atas mempunyai kesalahan dalam penulisan sehingga mempunyai pemahaman yang
berbeda, namun secara maksudnya dimaknai tidak utuh. Dalam tata penulisan
mengalami kesalahan penulisan huruf, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Bahkan,
mengalami perubahan dan penghilangan huruf.
(d)
Lama sakali Ane betung dengan kakak jarta
(e)
Lama sekali Ane betung dengan kakak jarta
Maksudnya:
lama sekali Ane tidak bertemu kakak yang di Jakarta.
Berdasarkan
data (d dan e) mengalami penghilangan kata yang dapat menimbulkan pemaknaan
yang berbeda sehingga dapat membuat kesalahan. Di samping itu, terjadi
pengulangan kalimat yang ditulis subjek atau biasa disebut echolali.
3)
Kemampuan Anak Autis Memahami Bahasa
Secara
khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi
perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan
keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai
terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik. Perkembangan bahasa berkaitan
dengan kemampuan bahasa disebut semantik. Subjek menunjukkan perkembangan
semantik lebih lambat daripada anak normal. Perkembangan vacabulary anak autis
hasilnya menunjukkan bahwa subjek lebih lambat daripada anak normal (kata per
menit). Subjek lebih banyak menggunakan kata-kata positif, lebih sering
menggunakan kata-kata yang lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan katakata
bersifat khusus, tidak pernah menggunakan kata ganti, lebih sering menggunakan
kata-kata tunggal, dan subjek dapat menggunakan kata-kata yang bervariasi.
Berdasarkan
gambaran data responden memiliki karakteristik, sebagai berikut. 1) Subjek mengalami
di bidang komunikasi: perkembangan bahasa anak autisme lambat atau sama sekali
tidak ada. Senang membeo (echolalia) dan senang menarik tangan orang lain untuk
menyatakan keinginannya. 2) Tipe perubahan bunyi berasal dari kualitas bunyi,
sehingga diperoleh beberapa macam tipe perubahan bunyi yang diproduksi oleh
subjek tunggal di antaranya, yaitu protesis dan sinkope. 3) Tingkat kemampuan
kognitif, berbahasa, dan menulis pada subjek tunggal, dalam hal ini sangat
minim atau terbatas. 4) Subjek memiliki kekhasan dalam memahami kata, frasa,
klausa, dan kalimat serta ekspresi yang didapatkan bervariatif.
PENUTUP
Simpulan
Setiap ilmu biasanya dibagi menjadi bidang-bidang
bawahan atau cabang-cabang berkenaan dengan adanya hubungan disiplin itu dengan
masalah lain . Demikian pula dengan linguistik , karena mengingat objek
linguistik adalah bahasa yang merupakan fenomena yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia . Maka sub disiplin linguistik juga sangat banyak .
Antara lain :
1. Berdasarkan objek kajiannya
adalah bahasa pada umumnya atau bahasa tertentu dibagi menjadi 2 , yaitu : (1)
linguistik umum : linguistik yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah bahasa secara
umum, pernyataan-pernyataan yang dihasilkan akan menyangkut bahasa pada umumnya;
dan (2) linguistik khusus : linguistik yang berusaha mengkaji kaidah-kaidah
bahasa tertentu.
2. Berdasarkan objek kajiannya
bahasa pada masa tertentu atau bahasa sepanjang masa . dibedakan menjadi 2 ,
yaitu;a. linguistik sinkronik dan linguistik diakronik.
3. Berdasarkan objek kajiannya
apakah struktur internal bahasa atau bahasa itu dalam hubungannya dengan faktor
diluar bahasa . Dibedakan menjadi:
a.
linguistik mikro : linguistik yang mengarahkan
kajiannya pada struktur internal bahasa pada umumnya . Linguistik mikro dibagi
lagi menjadi sub disiplin linguistik fonologi ( mempelajari ciri-ciri bunyi
bahasa ) , linguistik morfologi ( mempelajari struktur kata , bagian , serta
cara pembentukannya ), linguistik sintaksis ( mempelajari satuan kata , satuan
lain diatas kata , hubungan satu dengan yang lain , dan cara penyusunannya
sehingga menjadi sebuah ujaran ), linguistik semantik ( mempelajari makna yang
bersifat leksikal , gramatikal , dan kontekstual ), linguistik leksikologi (
mempelajari kosa kata suatu bahasa).
b.
linguistik makro : linguistik
yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor diluar bahasa .
Linguistik makro dibagi lagi menjadi subdisiplin sosiolinguistik ,
psikolinguistik , antropolinguistik , etnolinguistik , stilistika , filologi ,
dialektologi , filsafat bahasa , dan neurolonguistik).
4.
Berdasarkan tujuannya apakah penyelidikan linguistik untuk merumuskan teori
atau untuk diterapkan, yaitu; linguistik teoretis dan linguistik terapan.
5. Berdasarkan
aliran atau teori yang digunakan dalam penyelidikan bahasa , dapat dibagi
menjadi: linguistik tradisional, linguistik struktural, linguistik
transformasional, linguistik generatife, linguistik semantik, linguistik
relasional, linguistik sistemik.
Simpulan kajian
ilmiah
1.
Fonologi
Fonetik merupakan kajian mengenai bunyi bahasa. Berdasarkan proses
terjadinya, fonetik dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu; (1) Fonetik akustis yaitu mempelajari bunyi bahasa yang berupa getaran udara
dan mengkaji tentang frekuensi getaran bunyi, amplitudo, intensitas dan
timbrenya; (2) Fonetik auditoris
yaitu mempelajari bagaimana
mekanisme telinga menerima bunyi sebagai hasil dari udara yang bergetar; (3) Fonetik artikulatoris adalah fonetik yang
mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat ucap manusia menghasilkan bunyi
bahasa serta pengklasifikasian bahasa berdasarkan artikulasinya.
Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang bersifat fungsional, artinya
satuan memiliki fungsi untuk membedakan makna. Sedangkan, fonemisasi adalah usaha untuk menemukan bunyi-bunyi
yang berfungsi dalam rangka pembedaan makna tersebut.
2.
Morfologi
Proses
morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) perubahan intern, (4)
suplisi, dan (3) modifikasi kosong (Samsuri, 190—193). Namun, di dalam bahasa
Indonesia yang bersifat aglutinasi ini tidak ditemukan data proses morfologis
yang berupa perubahan intern, suplisi, dan modifikasi kosong. Jadi, proses
morfologis dalam bahasa Indonesia hanya melalui afiksasi dan reduplikasi.
3.
Sintaksis
Morfologi
ialah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari
seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap
golongan dan arti kata, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi
mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk
kata iti, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantic.
4.
Semantik
Menurut
Chomsky pada bukunya yang kedua (1965) menyatakan bahwa semantik adalah
merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua komponen lain adalah
sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh komponen
semantik.
5. Wacana
Wacana merupakan
satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam
konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana
dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau
interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa
wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam
komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan
ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan
analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau
menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis
maupun lisan. Oleh karena itu, manfaat melakukan kegiatan analisis wacana
adalah memahami hakikat bahasa, memahami proses belajar bahasa dan perilaku
berbahasa.
6.
Sejarah dan Aliran linguistik
Linguistik
tradisional:
1. Liguistik Zaman Yunani
2. Zaman Romawi
3. Zaman Pertengahan
4. Zaman Renaisans
5. Menjelang Lahirnya Linguistik Modern
Linguistik Strukturalis
1. Ferdinand de Saussure
a) Telaah
sinkronik dan diakronik.
b) La
Langue dan La Parole.
c)
Signifiant dan Signifie.
d) Hubungan
Sintagmatik dan Paradigmatik.
2. Aliran Praha
3. Aliran Glosematik
4. Aliran Firthian
5. Linguistik Sistemik
6. Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
7. Aliran Tagmemik
Linguistik Transformasional dan Aliran Sesudahnya
1. Tata Bahasa Transformasi
2. Semantik Generatif
3. Tata Bahasa Kasus
4. Tata Bahasa Relasional
7. Psikolinguistik
Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat
ditarik simpulan sebagai berikut;
(1) gejala yang dirunut dari
psikolinguistik marah beranekaragam seperti diam, membentak, muka memerah,
cemberut, mata melotot, dan lain sebagainya; (2) aspek linguistik yang dikeluarkan dalam psikolinguistik marah seperti bahasa
yang digunakan dalam ujaran adalah bahasa yang sangat kasar, bahasa yang
diujarkan menggunakan intonasi yang tinggi, serta bahasa yang digunakan sangat
sinis, dan (3) aspek pikiran yang diungkapkan dari
psikolinguistik marah seperti penyebab yang dapat diketahui dari gejala
psikolinguistik orang marah yaitu emosi yang tidak terkontrol, situasi yang
tidak mendukung, dan faktor luar yang berupa tekanan mental.
8.
Sosiolinguistik
Adapun
kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Kode
atau ragam bahasa yang dipakai oleh masyarakat pengguna pasar “X” adalah Bahasa
Indonesia ragam informal.
b.
Kode
yang digunakan antar para pedagang di pasar “X” adalah bahasa Jawa dan bahasa
Indonesia.
c.
Kode
yang digunakan oleh sesama pedagang di pasar “X” adalah bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa.
d.
Bahasa
Jawa digunakan untuk interaksi intra etnis.
e.
Alih
kode dan campur kode serta interferensi terjadi bila percakapan terjadi antar
etnis. Bila bertemu dengan penutur beda etnis, mereka menggunakan bahasa
Indonesia, tetapi bila bertemu dengan penutur etnis yang sama, kode beralih ke
bahasa Jawa.
f. Alih kode sangat mudah terjadi di etnis
Jawa.
g. Dengan tingkat yang berbeda, kedua suku ini
masih mempertahankan budaya mereka melalui bahasa mereka.
9.
Pragmatik
Analisis
pragmatik dapat mengatasi kelemahan analisis sintaktik dan semantik.
Pemanfaatan konteks dalam analisis pragmatik telah mampu menjelaskan
aspek-aspek nonsintaktik dan nonsemantik sehingga pemahaman petutur terhadap
suatu tuturan menjadi lebih mendalam dan tuntas. Hal itu diperlukan untuk
membangun komunikasi yang efektif antara penutur dan petutur dalam suatu
peristiwa tutur tertentu. Lebih lanjut, dalam kaitannya dengan penelitian,
analisis pragmatik dapatdimanfaatkan untuk memahami dan mendalami lebih tuntas
teks tuturan yang menjadi objek penelitian. Teks tuturan dapat dibedah dan
dianalisis bukan hanya dari aspek-aspek sintaktik dan semantiknya tetapi juga
aspekaspek pragmatiknya. Melalui cara itu, analisis terhadap teks tuturan
menjadi lebih lengkap dan tuntas sehingga memenuhi prinsip eksplanasi yang exhaustive.
10.
Antropolinguistik
Terbukti dari perbandingan antara bahasa Jepang dengan
bahasa Melayu adanya pilihan wacana yang bervariasi dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lain. Sebuah gaya yang biasa dalam satu kebudayaan mungkin terlihat
sedikit mengejutkan dan menghina, atau membosankan dan menjengkelkan dari sudut
pandang kebudayaan yang lain. Untuk memahami variasi kebudayaan itu penting
kiranya diamati pola ujaran tanpa memperhatikan nilai dan norma-norma yang
menjelaskannya. Perlu diingat pula bahwa pola ujaran yang kelihatannya mirip
(misalnya, pilihan untuk pengendalian verbal) mungkin berasal dari nilai
kebudayaan yang berbeda dan dihubungkan dengan makna sosial yang berbeda dalam
latar kebudayaan yang berbeda. Untuk memperjelas hal ini dan bahkan untuk
mendeskripsikan pola ujaran itu tanpa distorsi etnosentris, dibutuhkan
perhatian khusus pada metabahasa dari deskripsi dan analisis.
11. Neurolinguistik
Berdasarkan
gambaran ilustrasi memiliki karakteristik, sebagai berikut. 1) Subjek mengalami
di bidang komunikasi: perkembangan bahasa anak autisme lambat atau sama sekali
tidak ada. Senang membeo (echolalia) dan senang menarik tangan orang lain untuk
menyatakan keinginannya. 2) Tipe perubahan bunyi berasal dari kualitas bunyi,
sehingga diperoleh beberapa macam tipe perubahan bunyi yang diproduksi oleh
subjek tunggal di antaranya, yaitu protesis dan sinkope. 3) Tingkat kemampuan
kognitif, berbahasa, dan menulis pada subjek tunggal, dalam hal ini sangat
minim atau terbatas. 4) Subjek memiliki kekhasan dalam memahami kata, frasa,
klausa, dan kalimat serta ekspresi yang didapatkan bervariatif.
DAFTAR PUSTAKA
Albin, Rochelle Semmel.
1986. Emosi, Bagaimana Mengenal, Menerima dan Mengarahkannya.
Yogyakarta: Kanisius.
Alwi, Hasan.1998.
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia.
Chaer, Abdul.1994. Linguistik Umum. Jakarta
: Penerbit Rineka Cipta.
___________.
2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono.
2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
_____________________2003 Analisis
Bahasa, Sintaksis dan Semantik. Bandung: Uvula Press
Djajasudarma,
T Fatimah.1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung:
Eresco .
Doi, T. 1988. The Anatomy of Self. Tokyo :
Kodansha.
Foley, W.A. 1997. Anthropological
Linguistics: An Introduction.Oxford: Blackwell.
Kridalaksana, Harimurti.1989 Pembentukan
Kata dalam Bahasa Indonesia.Jakarta : Gramedia.
___________________1994
KelasKata dalam Bahasa Indonesia .Edisi kedua. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
___________________.
1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Rakhmat. 1999. Psikologi
Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Lapoliwa, Hans 1990. Klausa Pemerlengkapan dalam Bahasa Indonesia: Suatu Tinjauan Sintaktik dan Semantik. Yogyakarta: Kanisius.
Lyons, John. Pengantar
Teori Lingustik. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun. 2005. Metode
Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Marat, Samsuniwiyati. 2005. Psikolingusitik Suatu
Pengantar. Bandung : Refika Aditama.
Mizutani, O. dan
Mizutani, N. 1987. How to be Polite in Japanese. Tokyo : Japan Times.
Nababan. 1992. Psikolinguistik:
Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Parera, J.D.
2009. Dasar-dasar Analisis Sintaksis.
Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer.
1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah.
Ramlan, M.1980. Morfologi : Suatu
Tujuan deskriptif . Yogyakarta CV Karyono
_____________.1981 Ilmu Bahasa
Indonesia : Sintaksis .Cetakan Kedua .Yogyakarta : UP
Ricoeur, Paul. 1978. Main Trends in
Philosophy. New York: Holmes and Meler Publishers.
Romaine, Suzanne. 1995.
Bilingualism. Blackwell Cambridge.
Sears, David O dkk. 1992. Psikologi
Sosial.Jakarta: Erlangga.
Sukini. 2010. Sintaksis: Sebuah Panduan Praktis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Syah, Muhibin.
2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tadkirotun ,Musfiroh.
2002. Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas
Negeri Yogyakarta.
Verhaar, J.W.M.
1996. Asas-asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Vreeland, N. (et
al.). 1977. Area Handbook for Malaysia. Edisi ke-3. Glen Rock NJ : Microfilming
Widjono
Hs. 2008. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Grasindo
Yudibrata, dkk.
1998. Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III.